Kejadian 1:27 mengatakan “Maka
Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah
diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” Kemudian Kejadian 2:24 menegaskan,
“Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan
bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.”
Kedua ayat ini menyatakan pribadi yang diperkenankan untuk menikah,
baik dari segi gender (jenis kelamin), kuantitas (jumlah), dan kualitas
(mutu). Sangat beralasan mengapa Allah menciptakan seorang perempuan,
dan bukan dua atau tiga orang perempuan, bahkan bukan seorang laki-laki
bagi Adam, karena memang Allah menghendaki seorang Adam menikah dengan
seorang Hawa saja.
Rod
Rutherford memberikan beberapa observasinya tentang hal ini: (1) Allah
menciptakan seorang perempuan untuk seorang laki-laki. (2) Pada
mulanya, tidak adanya kemungkinan perceraian ataupun perzinahan bagi
seseorang. (3) Allah menciptakan laki-laki dan mengetahui apa yang
terbaik untuknya;... (4) Rencana Allah pada mulanya sederhana saja,
yaitu “seorang laki-laki, seorang perempuan untuk seumur hidup.”
(Rutherford dalam Waldron, 1998: 21).
Berikut ini kita dapat melihat beberapa kategori pribadi yang diperkenankan untuk menikah secara alkitabiah.
1. Seorang laki-laki dan seorang perempuan, keduanya belum pernah menikah (Matius 19:4-6; Markus 6:6-9).
2. Seorang laki-laki atau seorang perempuan yang belum pernah menikah
dan seorang perempuan atau seorang laki-laki yang telah ditinggal mati
oleh suami atau isterinya (Roma 7:2-3; 1 Korintus 7:39).
3. Seorang laki-laki atau seorang perempuan dan seorang perempuan atau
seorang laki-laki yang telah menceraikan isterinya karena isterinya
berzinah atau menceraikan suaminya karena suaminya berzinah (Markus
10:12; Matius 19:9; 5:32).
4. Seorang laki-laki dan seorang perempuan, keduanya telah ditinggal mati oleh isteri atau suaminya (1 Korintus 7:39).
5. Seorang laki-laki dan seorang perempuan, keduanya telah menceraikan
isteri atau suaminya karena isteri atau suaminya itu berzinah (Matius
19:9; 5:32; Markus 10:12).
Demikian juga berikut ini beberapa kategori pribadi yang tidak diperkenankan untuk menikah.
1. Seorang laki-laki dan seorang laki-laki (Kejadian 2:24; bdg. Roma 1:26,28; 1 Korintus 6:9-10).
2. Seorang perempuan dan seorang perempuan (Kejadian 2:24; bdg. Roma 1:27,28).
3. Seorang perempuan atau seorang laki-laki yang belum pernah menikah
dan seorang laki-laki atau seorang perempuan yang menikah (Matius 19:9;
Matius 5:32).
4.
Seorang laki-laki dan seorang perempuan, keduanya masih terikat hukum
pernikahan dengan pasangannya masing-masing (isteri atau suami).
5. Seorang laki-laki atau seorang perempuan yang belum pernah menikah
dan seorang perempuan atau seorang laki-laki yang telah menceraikan
suami atau isterinya bukan karena suami atau isterinya itu berzinah
(Matius 19:9; 5:32).
6. Seorang laki-laki atau seorang perempuan yang telah ditinggal mati
isterinya dan seorang perempuan atau seorang laki-laki yang menceraikan
suami atau isterinya bukan karena suami atau isterinya itu berzinah
(Roma 7:2-3; 1 Korintus 7:39).
7. Seorang laki-laki atau seorang perempuan yang telah menceraikan
isteri atau suami bukan karena isteri atau suaminya itu berzinah dan
seorang perempuan atau seorang laki-laki yang juga telah menceraikan
suami atau isterinya bukan karena suami atau isterinya itu berzinah
(Matius 19:9; Markus 10:12; Matius 5:32).
8. Seorang perempuan dan seorang laki-laki, keduanya telah diceraikan
oleh suami atau isterinya karena zinah (Matius 19:9; Markus 10:12).
9. Poligami (seorang laki-laki menikahi lebih dari satu orang perempuan).
10. Poliandri (seorang perempuan menikahi lebih dari satu orang laki-laki).
Disamping itu juga, ada hal lain yang penting dan tidak dapat
dipisahkan dari pernikahan, yaitu bahwa seorang (laki-laki atau
perempuan) yang akan menikah harus dewasa.
Allah membentuk pernikahan hanya untuk seorang yang dewasa. Kita
perhatikan Adam dan Hawa, keduanya adalah individu yang diperkenankan
untuk menikah karena keduanya dewasa. Penciptaan Adam dan Hawa dalam
keadaan dewasa adalah sebagai standard untuk pribadi yang diperkenankan
untuk menikah. Kedewasaan ini sangat dibutuhkan untuk menjamin
terbentuknya sebuah rumah tangga yang harmonis dan bahagia.
Kedewasaan yang dimaksudkan disini adalah: Pertama,
kedewasaan secara fisik. Seseorang itu sudah mencapai usia yang pas
untuk menikah; bagi laki-laki sudah mampu fisiknya untuk berusaha
menghidupi rumah tangganya; bagi perempuan sudah siap untuk berusaha
dan juga melahirkan. Kedua, kedewasaan secara mental.
Dewasa berarti akil-balik. Seseorang itu sudah dapat menggunakan
pikirannya dengan baik sehingga dapat bertindak bijaksana dalam membina
dan mengatur rumah tangganya. Ketiga, kedewasaan
secara emosional. Seseorang itu sudah dapat menguasai emosinya dengan
baik ketika nanti ada persoalan yang terjadi dalam rumah tangga,
sehingga tidak terjadi perselisihan yang akan menghancurkan rumah
tangganya. Keempat, kedewasaan secara rohani.
Seseorang harus mempunyai hubungan yang baik dengan Allah, takut kepada
Allah, taat kepada perintah-perintahNya, mempunyai iman yang teguh.
Dengan kata lain bahwa dia adalah umat Allah yang benar (orang
Kristen). Ini akan menjadi fondasi yang kokoh baginya untuk menjalankan
rumah tangganya. Seseorang itu akan berusaha keras untuk menuntun baik
dirinya maupun seluruh anggota keluarganya kepada Tuhan (Lihat Yosua
24:15).