Pernikahan adalah untuk memperolah keturunan
Setelah Adam dan Hawa disatukan Allah dalam pernikahan kudus, dan
mereka sekarang menjalani sebuah rumah tangga baru, ternyata mereka
tidak akan hidup berdua saja selamanya, tetapi Allah memberkati mereka
dengan mengaruniakan anak-anak yang akan menambah jumlah anggota dalam
keluarga mereka (Kejadian 1:28). Kehadiran anak-anak dalam keluarga
bukan semata-mata menambah jumlah anggota keluarga, tetapi lebih dari
itu kehadiran mereka sebagai penghibur, pemotivasi dan pelengkap.
Anak-anak adalah berkat dan milik Tuhan. Pemazmur mengatakan, “Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada TUHAN”
(Mazmur 127:3a). Ini menunjukkan bahwa Allah menuntut tanggung-jawab
besar dari sebuah keluarga agar anak-anak yang dikaruniakanNya itu
dipelihara, dibesarkan, dididik, diasuh dengan baik. Bagaimanapun
keadaan anak-anak itu saat dilahirkan, tetapi yang pasti bahwa mereka
bukan objek penderita yang dapat dijadikan sebagai pelampiasan amarah
atau kebrutalan seorang ayah atau ibu. Saya pernah menyaksikan sebuah
sinetron yang ditayangkan oleh stasiun televisi RCTI. Sinetron itu
menceritakan kisah sebuah keluarga yang memiliki seorang anak laki-laki
tunggal dan agak idiot. Penerimaan kedua orang-tuanya berbeda; sang ibu
menerima apa adanya dan sangat mencintainya, sebaliknya sang ayah tidak
menerima kenyataan keadaan anak itu dan bahkan menganggap bahwa anak
itu sebagai pembawa sial dan malapetaka dalam keluarga mereka, bahkan
sampai tega sang ayah berkata bahwa anaknya itu sampah dan biar mati
saja.
Mungkin saja ada
sebuah keluarga yang digambarkan oleh cerita sinetron di atas. Kalau
itu terjadi, maka itu adalah sebuah pelanggaran besar yang dilakukan
oleh sebuah keluarga, apakah itu keluarga non-Kristen ataupun Kristen.
Penulis kitab Amsal berkata: “Mahkota orang-orang-tua adalah anak cucu ¼ ”
(Amsal 17:6a). Ini menunjukkan bahwa kehadiran anak dalam sebuah
keluarga adalah sebuah kehormatan bagi keluarga tersebut. Sebuah
keluarga pasti menginginkan kehormatan.
Satu hal penting lainnya yang perlu diketahui bahwa salah satu
kebutuhan anak adalah dia diinginkan oleh kedua orang-tuanya. Ada
beberapa contoh dalam Alkitab, seperti Ishak diinginkan oleh Sara dan
Abraham (Kejadian 15:1-6; 16:1-2; 17:15-19; 21:1-7), Samuel diinginkan
oleh Hana dan Elkana (1 Samuel 1:10-11, 19-20 ).
Perlu dipertimbangkan juga bahwa tidak mudah menjalankan tanggung-jawab
sebagai ayah dan ibu untuk seorang anak, diperlukan kesiapan fisik,
mental, emosi dan rohani, juga ekonomi. Pertimbangan ini dapat
didasarkan pada pribadi suami dan isteri, apakah keduanya telah
memiliki kesiapan-kesiapan ini atau sebaliknya. Suami dan isteri tidak
cukup hanya siap secara ekonomi untuk memenuhi seluruh kebutuhan
keluarga termasuk kebutuhan anak, tetapi keduanya harus benar-benar
siap secara fisik, mental, emosi, rohani dan juga secara ekonomi.
Dengan kata lain siap dalam semua bidang ini. Mungkin ada yang
mengatakan ekonomi tidak begitu penting, tetapi Alkitab sendiri
menegaskan pentingnya persiapan ekonomi (1 Timotius 5:8).
Seorang saudara seiman pernah menceritakan pengalaman yang diperolehnya
bahwa pada tahun-tahun awal (satu atau dua tahun) pernikahan sebuah
pasangan suami-isteri, biasanya baru menjalani masa penyesuaian diri
satu sama lain, secara mental, secara emosional, saling mempelajari
sifat masing-masing, berusaha untuk membuang ego (sifat mau menang
sendiri), dan yang lebih penting lagi adalah merencanakan hal-hal
(jangka panjang maupun jangka pendek) yang akan dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam rumah tangga. Setidaknya setelah
melewati tahun-tahun awal inilah saat yang baik untuk memiliki anak.
Hal ini juga akan memberikan sumbangsih besar untuk mengatasi hal-hal
destruktif (menghancurkan) yang salah satu dampaknya dapat merugikan
anak-anak dalam keluarga.
Pengalaman tidak semuanya salah. Kita dapat belajar dari pengalaman
baik orang lain, yang dapat memberikan jalan bagi suami-isteri untuk
menjalani kehidupan rumah tangga yang harmonis dan bahagia serta dapat
menjadi teladan bagi keluarga lain.