MASA PEMUKIMAN AWAL
Jauh sebelum Sunda Kelapa muncul sebagai salah satu kota Bandar terpenting kerajaan Sunda Pajajaran, di beberapa tempat di wilayah yang kini dikenal sebagai Daerah Khusus Ibukota Jakarta, telah muncul pemukiman-pemukiman awal. Ini dibuktikan dengan berbagai temuan alat-alat kebudayaan terbuat dari batu yang lazim dimasukkan ke dalam Zaman Batu Baru (Neoloithikum) berupa kapak dan beliung serta serpihan yang terbuat dan batu, manik-manik, kapak colong, mute, batu asahan, pecahan gerabah dan lain-lain. Alat-alat tersebut ditemukan di berbagai tempat, seperti Lenteng Agung, Kelapa Dua, Kampung Maninjo-Kebayoran, Pasar Rebo, Pasar Minggu, Tanjung Timur, Cililitan, Kampung Sunter, Condet, Pondok Gede, Pasar Jumat, Kebayoran, Pohon Sirih dan di beberapa tempat lain di tepi Sungai Ciliwung.
Jauh sebelum Sunda Kelapa muncul sebagai salah satu kota Bandar terpenting kerajaan Sunda Pajajaran, di beberapa tempat di wilayah yang kini dikenal sebagai Daerah Khusus Ibukota Jakarta, telah muncul pemukiman-pemukiman awal. Ini dibuktikan dengan berbagai temuan alat-alat kebudayaan terbuat dari batu yang lazim dimasukkan ke dalam Zaman Batu Baru (Neoloithikum) berupa kapak dan beliung serta serpihan yang terbuat dan batu, manik-manik, kapak colong, mute, batu asahan, pecahan gerabah dan lain-lain. Alat-alat tersebut ditemukan di berbagai tempat, seperti Lenteng Agung, Kelapa Dua, Kampung Maninjo-Kebayoran, Pasar Rebo, Pasar Minggu, Tanjung Timur, Cililitan, Kampung Sunter, Condet, Pondok Gede, Pasar Jumat, Kebayoran, Pohon Sirih dan di beberapa tempat lain di tepi Sungai Ciliwung.
Zaman Neoloithikum atau zaman Batu Baru merupakan suatu zaman di mana masyarakat manusia sudah mengenal tempat tinggal tetap (pemukiman), kepercayaan atau religi, pertanian, perdagangan, kesenian, dan juga pemerintahan. Kebudayaan zaman ini biasanya sudah dianggap sebagai dasar bagi perkembangan masyarakat dan kebudayaan zaman kemudian. Masyarakat ini kemudian tumbuh dan berkembang menjadi masyarakat yang mengenal teknologi pembuatan alat-alat keperluan hidup dari bahan perunggu dan besi yang dalam pengetahuan Prasejarah dinamakan zaman Kebudayaan Perunggu Besi yang diduga timbul sejak 500 tahun SM (zaman Kebudayaan ini disebut juga Zaman Kebudayaan Dongson). Benda-benda yang dibuat dari logam perunggu dan besi berupa kapak corong, tombak dan lainnya. Benda-benda ini pernah ditemukan di beberapa tempat di wilayah Jakarta seperti di Lenteng Agung, Tanjung Barat, Pasar Minggu: Bahkan di Kalapa Dua pernah ditemukan bekas cor-coran besi (“tai besi”).
Zaman Perunggu-Besi juga sudah mengenal pelayaran dan perdagangan, maka sejak abad-abad pertama Masehi penduduk di pesisir Jakarta dan sekitarnya sudah berkenalan dengan para pendatang dari India. Orang-orang yang datang dan bergaul dengan penduduk pesisir wilayah Jakarta itu adalah para pedagang dan pendeta agama Hindu atau Budha. Terbukti dari bentuk tulisan Pallawa yang terdapat pada prasasti-prasasti batu yang dibuat pada masa pemerintahan Purnawarman dari Kerajaan Taruma pertengahan abad ke-5 M. Dari 7 prasasti yang ditemukan, yang menarik adalah prasasti Tugu, Kampueng Batutulis (sekarang termasuk wilayah Jakarta Utara), karena isinya berkaitan dengan ibukota Kerajaan Taruma, meski letak kerajaan itu sampai kini belum dapat dipastikan. Enam (6) prasasti lain yang ditemukan adalah prasasti Ciaruteun, Muara Cianten, Kebon Kopi, Jambu, Pasir (daerah Bogor), dan Cidangiang (Banten Selatan).
Pada prasasti Tugu disebutkan terdapat dua sungai yang digali, yaitu Sungai Candrabhaga dan Gomati. Sungai pertama dialirkan ke laut setelah sampai di istana kerajaan. Sedang sungai yang kedua, Sungai Gomati, yang panjangnya 6.122 tombak digali atas perintah maharaja Purnawarman dan dikerjakan selama 21 hari itu, mengalir di tengah-tengah tanah kediaman Sang Pendeta, kakek maharaja Purnawarman. Pekerjaan penggalian kedua sungai tersebut, tidak dapat disangsikan lagi, memerlukan jumlah manusia yang demikian banyak. Jika dilihat dari jumlah penduduk, pada masa Kerajaan Tarumanegara jumlahnya berlipat-lipat dari zaman Perunggu Besi. Dengan berkembangnya kerajaan ini, maka hubungan pelayaran dan perdagangan internasional dengan bangsa-bangsa lain seperti India, Cina dan bangsa-bangsa di Asia makin bertambah maju. Letak geografi dan keadaan ekologi Teluk. Jakarta-yang terletak di antara 106.40′ dan 107.0′ garis bujur timur-yang subur, didukung teknologi yang dimiliki, pemerintahan yang berwibawa dan struktur masyarakat yang teratur, menyebabkan terciptanya pertumbuhan dan perkembangan suatu pemukiman, baik kota atau bahkan ibukota kerajaan.
Kurang lebih empat abad setelah kerajaan Tarumanegara hilang dari panggung sejarah, tidak diketahui dengan pasti sampai sejauh mana pertumbuhan penduduk dan perkotaan di wilayah yang sekarang disebut Jakarta itu. Baru pada abad ke-Il M terdapat Kerajaan Sunda yang diperintah Sri Jaya Bhupati Jayamanahen, seperti terungkap daIam sebuah prasasti yang ditemukan di pinggir S. Citatih (Cibadak). Namun yang lebih memastikan bahwa daerah Jakarta memberikan bukti-bukti keberadaannya sebagai kota bandar bermula dari adanya pertumbuhan dan perkembangan kerajaan Sunda dengan ibukota bernama Pakuan Pajajaran.
Menurut berita Tome Pires (1512-1515), Kerajaan Sunda dapat dicapai dua hari perjalanan dari Kalapa, yang merupakan salah satu bandar utama dan terpenting dari Kerajaan Sunda. Bandar-bandar lainnya adalah Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Cimanuk dan Cirebon. Tome Pires memberi gambaran pula tentang hubungan-hubungan perdagangan dengan berbagai bangsa, barang-barang yang diperdagangkan, dan mata uang yang berlaku. Komoditi ekspor yang paling utama ialah lada dan beras, sedang komoditi impor adaIah jenis-jenis pakaian dan keperluan rumah tangga. Kota Bandar Sunda Kalapa kemudian berkembang menjadi bandar intemasionaI, membuatnya bertambah ramai dengan penduduk yang semakin banyak. Bandar ini terkait dalam jalur pelayaran dan perdagangan internasional, bahkan tanggal 21 Agustus 1522 telah menjalin perjanjian perdagangan dengan Portugis. Ketika Portugis hendak melaksanakan pembuatan benteng, lima tahun kemudian, tepatnya 22 Juni 1527, kota bandar Sunda Kalapa jatuh ke tangan kekuasaan Islam dari Demak di bawah pimpinan Fatahillah atau Fadhillah Khan, setelah berhasil menyerang dan mengusir armada Portugis di bawah pimpinan Fransisco de Sa. Tanggal tersebut, kemudian diyakini sebagai hari kelahiran kota Jakarta.
Menurut berita Tome Pires (1512-1515), Kerajaan Sunda dapat dicapai dua hari perjalanan dari Kalapa, yang merupakan salah satu bandar utama dan terpenting dari Kerajaan Sunda. Bandar-bandar lainnya adalah Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Cimanuk dan Cirebon. Tome Pires memberi gambaran pula tentang hubungan-hubungan perdagangan dengan berbagai bangsa, barang-barang yang diperdagangkan, dan mata uang yang berlaku. Komoditi ekspor yang paling utama ialah lada dan beras, sedang komoditi impor adaIah jenis-jenis pakaian dan keperluan rumah tangga. Kota Bandar Sunda Kalapa kemudian berkembang menjadi bandar intemasionaI, membuatnya bertambah ramai dengan penduduk yang semakin banyak. Bandar ini terkait dalam jalur pelayaran dan perdagangan internasional, bahkan tanggal 21 Agustus 1522 telah menjalin perjanjian perdagangan dengan Portugis. Ketika Portugis hendak melaksanakan pembuatan benteng, lima tahun kemudian, tepatnya 22 Juni 1527, kota bandar Sunda Kalapa jatuh ke tangan kekuasaan Islam dari Demak di bawah pimpinan Fatahillah atau Fadhillah Khan, setelah berhasil menyerang dan mengusir armada Portugis di bawah pimpinan Fransisco de Sa. Tanggal tersebut, kemudian diyakini sebagai hari kelahiran kota Jakarta.
jakarta.go.id/