Penulis: Prof. DR. J. E. Sahetapy, S. H.
Ada lagi yang kulihat di bawah matahari: di tempat pengadilan, di situpun terdapat ketidakadilan, dan di tempat keadilan, di situpun terdapat ketidakadilan.
Menulis tentang hukum di Indonesia dewasa ini bukanlah suatu pekerjaan gampang. Itulah sebabnya tulisan ini sama sekali tidak mengandung sesuatu pretensi. Ia ditulis atas permintaan dalam suatu keadaan tergesa-gesa, meskipun benih pemikirannya sudah beberapa waktu yang lalu digumulinya. Mengingat keadaan yang mendesak, maka tulisan ini mengandung pokok-pokok pemikiran yang perlu dikupas lebih lanjut, baik faset historis kultural atau yang seperti saya pernah kemukakan dalam pidato pengukuhan saya, yaitu dari segi sobural (suatu akronim dari nilai-nilai sosial, aspek budaya, dan faktor struktural), dan tentu dari perspektif analisis theologis. Pengemukakan hal 'tergesa dan keadaan yang mendesak' bukanlah dalam rangka alasan pemaaf atau pembenar; sama sekali tidak. Usaha menulis ini bersifat apologetis dengan harapan dapat dikembangkan lebih lanjut.
Pekerjaan menulis bertalian dengan judul di atas sulit bilamana menggambarkan hukum dalam perspektif interaksi masa kini dalam masyarakat Indonesia. Ada banyak alasan untuk mengatakan seperti itu, tetapi dalam konteks penulisan kali ini hal itu tidaklah relevan untuk dibahas. Untuk itu dimintakan pengertian dan klemensi. Akan makin lebih sulit kalau hukum di Indonesia dewasa ini dalam perspektif hukum dalam geraknya di gumuli dalam iman Kristiani.
Mengapa harus digumuli dalam iman Kristiani? Tidak cukupkah kalau hukum dalam geraknya dikaji berdasarkan Weltanschauung Pancasila? Bertalian dengan pertanyaan yang kedua, meskipun belum banyak dikupas, pernah ada usaha ke arah itu. Tentang pertanyaan pertama sepanjang yang saya ketahui oleh orang Indonesia belum ada. Kalaupun ada, pembahasan itu menyangkut aspek legalistik positivistik daripada hukum dengan dibumbui pemikiran filosofis. Suatu penulisan bertalian dengan perspektif fungsionalisme digumuli dalam iman Kristiani oleh orang Indonesia belum pernah saya membacanya.
Mungkin ada yang berpendapat bahwa kuranglah adil, kuranglah benar, dan kurang dapat dipertanggungjawabkan kalau hukum dewasa ini di Indonesia dianalisis dari perspektif iman Kristiani. Dikaji dari iman Kristiani membawa konsekuensi tiadanya kesamaan pangkal tolak. Pangkal tolak, demikian argumentasi itu, haruslah sama mengingat ada berbagai faktor yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan, antara lain, pelbagai agama non-Kristiani. Selain itu perlu diketahui bahwa sumber segala sumber hukum adalah Pancasila dan negara Republik Indonesia bukanlah negara agama dan bukan pula negara sekuler. Argumentasi lain, demikian dalam 'trant' dialog Socrates, penulisan dalam pergumulan iman Kristiani memungkinkan mengingat sila yang pertama dari Pancasila.
Argumentasi pro dan kontra ataupun suatu dialog Socrates mengingatkan saya pada usaha menjebak Yesus supaya Yesus mengucapkan penghinaan politik terhadap Kekuasaan pemerintah Romawi. Matius 22:15-22 memberikan gambaran yang jelas dan oleh karena itu ucapan Sang Messias itu haruslah selalu diingat oleh mereka yang bukan saja mengakui, tetapi terutama yang menerima dan yang menghayati secara pribadi Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat: "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah." (Matius 22:21). Hukum memang memberikan pelbagai dimensi untuk dikaji. Lazimnya orang membahasnya dari segi legalistik positivistik. Pengkajian yang demikian, demikian pula dari segi fungsionalisme, rasanya tidak terlalu sulit. Hambatan-hambatan kalau ada, acapkali menyangkut aspek-aspek teoritis dan filosofis. Kalaupun ada ancaman maka ancaman itu berupa macan kertas. Lain halnya kalau dikupas, apalagi kalau ditanggalkan busananya bertalian dengan hukum dalam geraknya. Di situ akan ditemui banyak musibah terselubung. Masalahnya tidak lagi menyangkut undang-undang itu 'an sich', melainkan mengungkapkan praktek penegak hukum yang mencampuradukkan antara wewenang lembaga dan penyalahgunaan kekuasaan sampai kepada perbuatan-perbuatan tercela. Dengan demikian orang lebih suka menggambarkan wajah hukum yang kelihatan, dan yang di balik itu, yang ada tetapi dikatakan tiada, yang terlihat tetapi tidak kelihatan, yang terasa sakit tetapi kelihatan sehat, orang menjadi 'wegah' untuk mengungkapkannya. Di situlah justru iman Kristiani akan tampak dalam sepak terjang para penegak hukum kalau dihayati Matius 5:48; "Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna." Itu berarti hukum tidak hanya menggambarkan seperangkat nilai yang bertalian dengan perintah dan atau larangan, hukum tidak hanya menggambarkan adanya kepatuhan dan ketertiban, hukum tidak hanya menggambarkan tinggi atau rendahnya budaya hukum itu sendiri, melainkan dalam perspektif hukum dalam geraknya, yang pertama-tama dan terutama para penegak hukum harus menggambarkan keberadaan dan penghayatan iman kepada Kristus Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Matius menulis demikian: "Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi. Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga." (Matius 5:17-19).
Dalam konteks iman Kristiani Yesus Kristus adalah realisasi yang paling sempurna daripada hukum itu sendiri dan oleh karena itu pencerminan hukum dalam geraknya adalah pencerminan daripada perbuatan dan perilaku Yesus Kristus. Dengan perkataan lain: Yesus Kristus adalah Jalan dan Kebenaran dan Hidup (Yohanes 14:6). Siapa yang menjadi penegak hukum ia harus memiliki Terang (Yohanes 8:12) agar ia tidak berjalan dalam kegelapan dengan menyalahgunakan kekuasaan, pemerasan, melakukan korupsi dan sebagainya. Tetapi Terang itu harus bercahaya dalam hati atau insan kamilnya agar ia tetap dalam FirmanKu dan dengan demikian ia akan mengetahui kebenaran dan kebenaran itu akan memerdekakan dia dari segala bentuk penyelewengan dan perhambaan kepada kuasa-kuasa kegelapan. (Cf. Matius 8:31-32).
Tetapi Yesus juga memperingatkan: "Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya." (Matius 23:3). Itulah sebabnya Tuhan Yesus menghendaki agar kita tidak munafik, ibarat berpakaian hukum tetapi berhati penyamun, bermata pezina, bertangan pembunuh dan berwajah koruptor. Dalam bahasa awam: satunya kata dengan perbuatan, satunya mulut dengan tindakan.
Donald Guthrie dalam 'New Testament Theology' (Inter-Varsity, 1981, h. 679). Menulis: "Jesus summarized the law and the prophets in what has come to be known as the golden rule ('Whatever you wish that, men would do to you, do so to them', Mt. 7:12). This interpretation of the essence of the law robs it of its legalism without denigrating it. Luke 6:31 records the same precept, but does not mention the law and prophets."
Orang tidak perlu belajar hukum dan atau bergelar sarjana hukum untuk menimbang, merasakan, dan atau menghayati keadilan. Setiap orang yang setia kepada Firman Tuhan seharusnya tahu apa yang ia harus laksanakan kalau itu memang diwajibkan oleh hukum. Sayang, acapkali orang hanya tahu haknya dan tidak mau tahu kewajibannya. Oleh karena itu dapatlah dimengerti kalau orang awam acapkali menjadi bingung melihat dan atau membaca pelbagai peristiwa yang bertalian dengan masalah penegakan hukum dewasa ini. Orang awam membaca tentang adanya korupsi tetapi ternyata belum atau tidak ditindak. Bahkan kalaupun orang awam melihat permainan akrobatik yang menyelubungi permainan korupsi, ia mungkin bisa frustrasi. Orang awam membaca tentang keributan pers bertalian dengan mafia di pengadilan. Oleh karena ia orang awam, ia bertanya: apakah itu mungkin! Ia lupa kepada Pengkhotbah 3:16 dan tidak menyadari betapa jahatnya manusia yang tidak takut akan Tuhan (Pengkhotbah 8:11-13).
Orang awam melihat dan mungkin merasakan penyalahgunaan kekuasaan, tetapi sebagai rakyat kecil ia hanya bisa belajar bersabar dalam doa dan iman. Orang awam melihat begitu banyak rumah ibadah dibangun dibanding dengan masa lampau, tetapi dengan penuh keheranan bercampur kekuatiran ia melihat merajalelanya kejahatan. Orang awam menyaksikan berbondong-bondong kaum agama dari pelbagai agama menjalankan kewajiban agama dan ia bertanya: mengapa kejahatan tidak berkurang! Orang awam mendengar dan atau menyaksikan banyak pidato dan wejangan, tetapi dengan penuh kesedihan ia menyaksikan tiadanya satu kata dengan perbuatan dan satunya mulut dengan tindakan. Orang awam bertanya dan sebagai awam ia mulai mencari alasan dan berteori. Orang awam seperti ini masih harus belajar dari pengalaman Nikodemus (Yohanes 3:1-21). Yesus berkata: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah." Demikian pula: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah. Apa yang dilahirkan dari daging, adalah daging, dan apa yang dilahirkan dari Roh, adalah roh." (Yohanes 3:3,5-6). Orang yang menerima Yesus Kristus secara pribadi sebagai Tuhan dan Juru Selamat tidak akan kecewa, tidak akan bimbang, bingung ataupun frustrasi, melihat dan mendengar pelbagai kejahatan, penyelewengan, dan kemunafikan yang kini terjadi, baik dalam lembaga sekuler maupun dalam lembaga keagamaan. Lihatlah betapa Pengkhotbah 3:16 telah memperingatkan; demikian pula dalam Wahyu 18:4-5. Untuk diketahui, Pengkhotbah (Qohelet) telah meletakkan suatu pemikiran teologis yang sungguh sangat dalam yang bersifat apologetis.
Ketidakadilan, kesewenangan, penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan kemunafikan, hanyalah tanda bahwa Kasih dalam iman kepada Tuhan Yesus Kristus sudah tiada atau telah luntur. Tetapi begitulah dasar manusia yang tidak takut kepada Tuhan dan oleh karena itu orang-orang kudus perlu tabah dalam iman (Wahyu 13:10). Banyak orang yang tidak percaya bekerja keras untuk memperoleh keselamatan. Mereka lupa bahwa tidak ada jalan lain yang menuju kepada Keselamatan hanya melalui Kristus Yesus (Yohanes 14:6). Tidaklah mengherankan kalau mereka yang memperoleh harta kejayaan secara haram melalui korupsi mencoba `menyuap' Tuhan. Sebagian dari penghasilan haram pada waktu hari raya keagamaan diberikan berupa amal atau disumbangkan kepada lembaga keagamaan dengan harapan tersembunyi agar Tuhan mengampuni dosa mereka. Mereka lupa bahwa Tuhan tidak bisa dibeli seperti mereka sudah biasa dibeli dalam penyalahgunaan wewenang mereka. Mereka lupa seperti Nikodemus bahwa pertobatan yang sejati hanyalah di dalam dan melalui Yesus Kristus (Lukas 5:32 dan Kisah para Rasul 3:19).