Penulis: Daniel Lucas
"Di dalam pelayanan dan khotbah, saya cenderung tidak memakai otak saya, biar Roh Kudus yang bekerja sepenuhnya", "Kalau saya berdoa, akal saya ini saya buang, sebab kalau akal ini saya pakai, saya tidak akan berhasil untuk berdoa di dalam Roh..."
Pernahkah Anda mendengar seseorang - entah ia seorang awam atau seorang pengkhotbah - mengatakan kalimat yang nadanya persis atau mirip, dengan contoh kalimat di atas? Atau, Anda sendiri pernah mengatakannya baik kepada teman sesama anggota jemaat ataupun di persekutuan-persekutuan?
Syukur alhamdullilah, ternyata kebanyakan Anda, pembaca. Pelita Zaman, termasuk di dalam kelompok yang pernah mendengar (minimum, tentu saja, menurut praduga saya). Lalu, pertanyaannya adalah: apakah Anda setuju atau tidak setuju dengan kalimat tersebut? Bagaimana Anda mengkajinya? Inilah yang akan kita simak bersama-sama.
Tentu saja ada beberapa alternatif kemungkinan maksud kalimat tersebut. Pertama, mungkin ia sebetulnya hendak mengatakan bahwa ia tidak berani memforsir penggunaan rasionya untuk urusan rohani, ia tidak berani mengandalkan rasio sebab rasio itu picik, korup, dibutakan Iblis, terbatas, serta berada di bawah kuasa dosa. Bukankah Calvin sendiri menganggap bahwa rasio senantiasa dipengaruhi oleh 'radix cordis', yakni akar hati kita yang bobrok? Bahkan, bukankah Luther menyebutnya dengan lebih tajam lagi: rasio itu bagaikan 'si pelacur tua' ('tua' di sini bukan umurnya, tapi pengalamannya), yakni yang selalu setia kepada serangkaian pacar, demikian pula rasio yang sebentar-bentar setia kepada Allah, kemudian beralih setia kepada ilah zaman ini?
Kedua, mungkin orang yang mengucapkan kata-kata tersebut belum bisa (atau belum mau) membedakan antara fungsi fakulti rasio dengan fakulti emosi, atau antara fungsi rasio yang korup dengan rasio yang sudah dipalingkan kepada Kristus. Ia memakai rasionya, tetapi tidak mengaku bahwa ia sedang memakainya. Dapat kita bayangkan betapa pusingnya seorang pendeta apabila seluruh anggota jemaatnya plus majelisnya secara koor mengatakan bahwa mulai sekarang mereka akan melayani secara full dan aktif, tetapi dengan tidak memakai otak.
Ketiga, kemungkinan orang itu mendengar perkataan seperti itu, lalu ia merasakan kalimat itu sangat mengena bagi dirinya dalam konteks zaman ini. Ini berarti orang itu menerima semacam 'oral tradition' dalam satu paket pengaruh filsafat zaman yang sudah meresap secara perlahan-lahan tetapi meyakinkan. Kami katakan demikian untuk mengingatkan agar kita tidak lupa bahwa sesungguhnya filsafat adalah suatu ilmu yang pengaruhnya sangat halus, licin serta tersembunyi (perh. peringatan Paulus dalam Kolose 2:8). Maka yang kerapkali terjadi adalah bukan tentang apa yang kita pikirkan, melainkan dengan apa yang kita pikirkan.
Untuk meyakinkan anda, cobalah anda buka kembali buku-buku Sejarah Gereja dan Sejarah Teologia yang pasti ada bagian tertentunya yang berkisah tentang tokoh-tokoh seperti Tertullian, Pascal atau Kierkegaard. Mereka, tentu saja, merupakan pendahulu-pendahulu kita yang memberikan sumbangsih yang besar dalam dunia teologia. Tidak layak bagi saya mengeritik, apalagi mendiskreditkan mereka. Hanya satu saja catatan, bahwa merekalah mata rantai yang memisahkan atau menceraikan iman dan rasio. Ada dunianya iman, ada dunianya rasio. Tertullian bahkan mengatakan "I believe because it is absurd", saya percaya oleh karena hal itu tidak masuk akal. Inilah yang disebut Berkouwer sebagai "a blind submission to an 'exterior' revelation or an 'exterior' authority", suatu keyakinan sembarangan yang mengaitkan diri kepada objek penyataan atau otoritas yang ada 'di luar sana' (A Half Century of Theology, Eerdmans, 1979, h. 149). Oleh sebab itulah perkataan Tertullian ini - beserta dengan segenap keyakinannya yang mengacu begitu lekat dengan doktrin Roh Kudus - menarik perhatian kita. Dengan demikian, boleh dikata, Tertullianlah yang menjadi pelopor gerakan antirasionalitas atau gerakan transendentalisasi di dalam tubuh Kekristenan.
etiap manusia mempunyai kecenderungan untuk melakukan transendentalisasi, karena ia - sekalipun dalam status keberdosaannya - masih tetap menyimpan sisa-sisa gambar
Allah. Thielicke menyebutkan istilah 'innate conscience' untuk menggambarkan bahwa di dalam keberadaan manusia ia masih dapat sadar akan hukum-hukum Allah berdasarkan Roma 2:14-15 (The Evangelical Faith, vol. 1, Eerdmans, Grand Rapids, 1977, h. 144). Sehingga manusia secara otomatis mempunyai kebutuhan untuk berdekat kepada kuasa yang ada di luar dirinya sendiri. Secara sadar atau tidak, ia tahu bahwa dari dirinya yang fana ia sulit mengisi kebutuhan tersebut. Oleh sebab itu ia melakukan usaha-usaha 'selftranscendence'.
Maka definisi transendentalisasi yang saya maksudkan adalah usaha manusia yang ingin melepaskan diri dari ikatan atau keterbatasan naturnya.- Ia sadar bahwa ia manusia. lapun sadar bahwa di luar dirinya ada keberadaan lain yang lebih tinggi atau lebih sempurna. Tetapi realita hidup sekarang ini ternyata tidak seindah dan sesempurna bayangannya. Dari sinilah ia memikirkan harus ada jalan keluarnya.
Namun yang menjadi masalahnya adalah: manusia telah mempergunakan segenap potensi dan dorongan itu untuk membentuk pemikiran, kesimpulan serta pandang semesta -(world view) mereka masing-masing. Sehingga dari sana lahirlah berbagai kebenaran yang memutlakkan diri di dalam kerelatifan, rasio yang bersimaharaja, atau keyakinan yang berubah menjadi fanatisme.
Apabila proses ini berlangsung lama pada diri seseorang atau satu kelompok, ia akan membuahkan sejenis isme atau aliran yang mapan. Misalnya, pada mistisisme terdapat kecenderungan menolak pengetahuan tentang Allah melalui pikiran. Jika mengganggu, pikiran harus diskors. Pengetahuan tentang Allah harus melalui jalur pengalaman. Setelah itu barulah manusia bisa bersatu dengan 'Allah'. Ini adalah unsur yang paling hakiki dari aliran kepercayaan serta agama Timur (Hindu dan Budha). Warna keyakinan yang serupa inilah yang menonjol di dalam Gerakan Kharismatik, yakni mereka mengakui bahwa apa yang mereka lakukan itu tidak dapat dikomunikasikan, kecuali orang tersebut juga mempunyai pengalaman yang sama.
Apa yang menjadi reaksi anda yang pertama sekali ketika mendengar kata 'kharismatik? Apakah anda mempunyai kesan atau respons yang sama sekali negatif? Jikalau ya, maka kelanjutan daripada dialog kita akan menjadi kurang mesra. Kemungkinan ini disebabkan anda menolak tata ibadah, kebiasaan atau praktek karunia tertentu yang menonjol di dalam persekutuan-persekutuan Kharismatik. Tetapi harus diingat bahwa kata 'kharismatik' (huruf k kecil) mempunyai konotasi umum yang artinya 'berkarunia' (Yn. charisma, charismata). Jadi, Gereja, atau setiap orang Kristen khususnya, seyogyanya mempunyai ciri kharismatik, meskipun ia bukan salah seorang anggota persekutuan Kharismatik.
Maka, setiap orang Kristen harus memahami bahwa karunia-karunia Roh datangnya daripada Roh Kudus sendiri (I Kor. 12:4,7, 11). Roh Kudus memilih siapa yang dikehendakiNya untuk memperoleh karunia-karunia tertentu. Sebab itu, karunia yang kelihatannya paling lemah atau yang kurang diperlukan (menurut penilaian kita) juga penting, bahkan menurut Paulus, bisa menjadi paling dibutuhkan (I Kor. 12:22).
Dengan demikian setiap orang Kristen adalah unik di hadapan Tuhan dan manusia, karena kepada setiap orang Kristen diberikan paling sedikit satu macam karunia. Karunia anda dan karunia saya masing-masing unik. Sehingga, apabila kita tidak memiliki karunia-karunia tertentu yang dipunyai orang lain, kita tidak perlu iri apalagi sampai memaksa (Tuhan atau diri sendiri) supaya dapat. Kita boleh, tentu saja, mengharapkan atau memintanya kepada Tuhan (I Kor 12:31). Namun apabila kita tidak puas karena tidak didistribusikan lalu meniru-niru serta memalsukan karunia tertentu, kita berdosa besar di hadapan, Tuhan. Jikalau demikian, maka drama akhir zaman seperti yang digambarkan Matius 7:21-23 pasti akan terjadi, sebab pada titik inilah karunia-karunia tidak mampu melegalisir masuk tidaknya seseorang ke dalam kerajaan Sorga.
Sebaliknya, kitapun tidak boleh memaksa orang lain harus memiliki karunia yang sama seperti yang kita miliki, karena tidak mungkin semua orang memiliki karunia yang sama (I Kor. 12:28-30, pertanyaan retoris Paulus yang tidak perlu dijawab).
Nah, apabila semua prinsip umum di atas dapat kita setujui bersama, kita akan melihat satu titik lain lagi, yang merupakan titik krusial yang membedakan apakah seseorang bisa kita kategorikan sebagai Kharismatik yang kharismatik atau sebagai Kharismatik yang transendentalistis.
Paulus, hamba Tuhan yang full kharismatik itu, mengatakan demikian: "Aku akan berdoa dengan rohku, tetapi aku akan berdoa juga dengan akal budiku; aku akan menyanyi dan memuji dengan rohku, tetapi aku akan menyanyi dan memuji juga dengan akal budiku" (I Kor. 14:15). Apa maksudnya?
Sederhana saja. Bagi Paulus di dalam beribadah dan menyembah Allah orang Kristen harus menjaga keseimbangan fungsi roh dan fungsi rasionya. Dengan lain perkataan, di dalam berdoa atau menyanyi atau menyembah Tuhan, rasio kita tidak boleh diskors. Penalaran harus lancar. Bahasa harus jelas dan dapat dimengerti (perhatikan I Korintus 14:9 di mana Paulus memakai kata 'eusemos' yang artinya 'intelligible', 'clear', 'easily understood', jelas dan dapat difahami). Sebab apabila setiap orang Kristen hanya berdoa dan menyanyi di dalam roh secara mistis saja, orang lain tidak akan tahu apa yang kita katakan (14:16) dan ia "tidak dibangun olehnya" (14:17; azas manfaatnya nol).
Jelas di sini Paulus sangat berhati-hati din teliti sekali: orang Kristen harus tidak menjadi transendentalistis. Kekristenan tidak sama dengan mistisisme. Kekristenan menolak TM (Transcendental Meditation). Kekristenan tidak boleh kecipratan panteisme dengan segala bentuknya. Kekristenan, sekali lagi, bukan kebatinan.
Biarlah mereka yang masih betah bergerak di dalam lingkaran pengalaman transendentalistis seperti itu senantiasa mengingat satu hal, bahwa Kekristenan tidak dibangun di atas dasar pengalaman manusia. Kekristenan kita dan iman kita mengacu pada penyataan Allah yang objektif serta yang memadai, yaitu Alkitab. Kami katakan demikian karena ada salah satu pendapat yang sangat berbahaya yang selalu diajarkan di mana-mana oleh para penganut Kharismatik Transendentalistis, yaitu bahwa pengalaman mereka harus juga merupakan pengalaman Gereja atau seluruh umat Kristen masa kini. Apakah betul? Mestikah setiap orang mengalami pertobatan seperti Paulus (Kisah 9) sehingga baru dianggap benar-benar sungguh dan efektif pertobatannya? Haruskah setiap orang Kristen berglosolalia?
Pengalaman seseorang (sekalipun yang terjadi seperti yang tercatat dalam Alkitab) harus dibedakan dengan doktrin dan prinsip Alkitab secara keseluruhan. Tidak ada pengalaman manusia yang dapat menjadi patokan untuk menggantikan firman Tuhan. Sebaliknya, setiap bentuk pengalaman serta fenomena tingkah laku manusia harus diteliti melalui prinsip dasar firman Tuhan yang tidak pernah berubah.
Donald Bridge secara tepat dan objektif mengemukakan hal yang sama:
Umat Kristen dari segala aliran hendaknya selalu berjaga-jaga terhadap kecenderungan untuk memaksa orang lain mempunyai pengalaman menurut pola pengalaman mereka sendiri, betapapun berharga dan berartinya pengalaman mereka itu. Inilah yang selama ini merupakan salah satu dosa (!) yang senantiasa mengancam orang-orang Kristen Injili pada zaman sekarang. Dogmatisme semacam ini ... sebenarnya menghina Allah karena tidak mau mengakui keanekaragaman sifat manusia, dan dapat mengakibatkan kepahitan dan perpecahan. Memang sudah sewajarnya orang-orang menolak kediktatoran rohani semacam itu. (Karunia-karunia Roh dan Jemaat, Kalam Hidup, h. 165).