Lukisan stensil tangan tertua di dunia berusia 39.900 tahun di Leang Timpuseng, Sulawesi (kanan atas). Lukisan itu berdampingan dengan lukisan babirusa tertua berusia 35.400 tahun yang ada di kiri bawah
Sebuah gambar tangan di Leang Timpuseng, kawasan karst Maros, Sulawesi. dinobatkan sebagai stensil tangan tertua di dunia. Usianya minimal 39.900 tahun, mengalahkan gambar tangan di El Castillo, Spanyol, yang berusia minimal 37.300 tahun.
Usia gambar tangan terungkap berkat kerja sama Pusat Arkeologi Nasional, Balai Arkeologi Makassar, Balai Peninggalan Cagar Budaya Makassar, Universitas Wollongong, serta Universitas Griffith di Australia sepanjang 2011-2013.
Arkeolog yang terlibat antara lain Max Aubert dari Universitas Griffth, Adam Brumm (Universitas Wollongong), T Sutikna dan EW Saptomo (Pusat Arkeologi Nasional), Budianto Hakim (Balai Arkeologi Makassar), dan Muhammad Ramli dari BPCB Makassar.
Terungkapnya umur gambar cadas Leang Timpuseng memicu sejumlah komentar. Di media sosial, banyak yang mengatakan, temuan gambar cadas mungkin menjadi petunjuk bahwa Indonesia pernah menjadi pusat peradaban dunia. Apakah memang demikian?
Siapa manusia pertama yang membuat gambar cadas?
Begini. Manusia ini otaknya sama. Kalau determinasi lingkungannya sama, dia akan melakukan hal yang sama, di mana pun mereka, mau di Amerika, di Eropa, atau Asia. Itu bisa dilakukan tanpa harus bersentuhan satu sama lain.
Oleh karena itu, entah apa yang terjadi 40.000 tahun yang lalu, tiba-tiba orang mulai menggambar di dinding. Itu di seluruh dunia sebenarnya walaupun dahulu hanya diketahui di Eropa dan Australia.
Setelah ditemukan di Eropa dan Australia, lalu muncul pertanyaan, apa yang terjadi di tengah-tengah. Belum terbukti. Lalu, dengan penemuan kemarin, mulai diketahui di tengah-tengahnya ada Sulawesi. Nanti mungkin di Thailand, India, dan lainnya.
Tapi, kurang lebih kesimpulan saya, kalau determinasi lingkungannya sama, ekspresinya sama. Contoh, misalnya, tiba-tiba iklim dunia berubah dan manusia harus bertani, tidak bisa lagi berburu, maka seluruh dunia akan bertani.
Setelah temuan gambar cadas di Maros, ada yang berpikir Indonesia mungkin dulu pusat peradaban. Apakah berarti seperti itu?
Menurut saya, tidak seperti itu. Enggak seperti itu kejadiannya.
Pramanusia sebenarnya sudah memiliki kemampuan estetika. Misalnya, dia mengumpulkan batu-batuan yang bagus. Alam saja yang membuatnya bagus. Paling tua sebenarnya seni seperti itu. Ini berlangsung lama, 100.000 tahun.
Lalu, misalnya soal alat. Dahulu manusia baru bisa memakai alat seadanya, lalu manusia bisa membuat alat yang bisa digenggam. Ini berlangsung lama perubahannya. Ini kan evolusi manusia.
Evolusi itu sama. Hanya saja, 100.000-90.000 tahun lalu itu manusia sedikit, mungkin hanya ada di Afrika, Timur Tengah, sehingga perkembangannya mirip. Jadi, yang tadi (temuan gambar cadas berusia sekitar 39.900 di Sulawesi) tidak langsung berarti bahwa Indonesia pusat peradaban dunia.
Bagaimana dengan cerita peradaban Atlantis?
Memang ada teori-teori Atlantis. Itu harus hati-hati juga. Sebab, selama ini memang tidak sesuai dengan gejala alamnya.
Keputusan manusia terhadap determinasi alam saat itu, kalau menurut saya, tidak membuat manusia memutuskan untuk menjadi bertani.100.000 tahun yang lalu, berburu saja masih bisa. Ngapain bertani, nyusahin diri. Manusia kan begitu, cari gampangnya. Kita mencari yang paling efisien, bukan efektif. Memang berburu tidak efektif, tapi efisien, daripada capek menanam gandum untuk jadi roti kan.
Jadi, kalau lingkungannya tidak menentukan untuk menjadi negara ya, tidak perlu bernegara, cukup suku-suku kecil saja. Atlantis kan kurang lebih kota negara. Harus ada perdagangan.
Berarti harus ada pertanian. Tapi, tidak ada buktinya juga ada pertanian saat itu.
Selain mengkritisi kaitan antara gambar cadas Sulawesi dan dugaan bahwa Indonesia pernah menjadi pusat peradaban dunia pada masa lalu, Pindi menerangkan A sampai Z tentang gambar cadas. Ia bercerita tentang apa gambar cadas sebenarnya, tujuan pembuatannya, serta keragamannya di Indonesia.
Pindi mengatakan, keragaman gambar cadas di Indonesia bisa merepresentasikan perkembangan kompleksitas gambar cadas. Ia pun berbicara tentang manajemen goa dengan gambar cadas untuk wisata serta bagaimana gambar cadas menginspirasi seni masa kini.
Menurut saya, tidak seperti itu. Enggak seperti itu kejadiannya.
Pramanusia sebenarnya sudah memiliki kemampuan estetika. Misalnya, dia mengumpulkan batu-batuan yang bagus. Alam saja yang membuatnya bagus. Paling tua sebenarnya seni seperti itu. Ini berlangsung lama, 100.000 tahun.
Lalu, misalnya soal alat. Dahulu manusia baru bisa memakai alat seadanya, lalu manusia bisa membuat alat yang bisa digenggam. Ini berlangsung lama perubahannya. Ini kan evolusi manusia.
Evolusi itu sama. Hanya saja, 100.000-90.000 tahun lalu itu manusia sedikit, mungkin hanya ada di Afrika, Timur Tengah, sehingga perkembangannya mirip. Jadi, yang tadi (temuan gambar cadas berusia sekitar 39.900 di Sulawesi) tidak langsung berarti bahwa Indonesia pusat peradaban dunia.
Bagaimana dengan cerita peradaban Atlantis?
Memang ada teori-teori Atlantis. Itu harus hati-hati juga. Sebab, selama ini memang tidak sesuai dengan gejala alamnya.
Keputusan manusia terhadap determinasi alam saat itu, kalau menurut saya, tidak membuat manusia memutuskan untuk menjadi bertani.100.000 tahun yang lalu, berburu saja masih bisa. Ngapain bertani, nyusahin diri. Manusia kan begitu, cari gampangnya. Kita mencari yang paling efisien, bukan efektif. Memang berburu tidak efektif, tapi efisien, daripada capek menanam gandum untuk jadi roti kan.
Jadi, kalau lingkungannya tidak menentukan untuk menjadi negara ya, tidak perlu bernegara, cukup suku-suku kecil saja. Atlantis kan kurang lebih kota negara. Harus ada perdagangan.
Berarti harus ada pertanian. Tapi, tidak ada buktinya juga ada pertanian saat itu.
Selain mengkritisi kaitan antara gambar cadas Sulawesi dan dugaan bahwa Indonesia pernah menjadi pusat peradaban dunia pada masa lalu, Pindi menerangkan A sampai Z tentang gambar cadas. Ia bercerita tentang apa gambar cadas sebenarnya, tujuan pembuatannya, serta keragamannya di Indonesia.
Pindi mengatakan, keragaman gambar cadas di Indonesia bisa merepresentasikan perkembangan kompleksitas gambar cadas. Ia pun berbicara tentang manajemen goa dengan gambar cadas untuk wisata serta bagaimana gambar cadas menginspirasi seni masa kini.