Tuesday, September 12, 2017

SIAPA SESUNGGUHNYA YANG MELAKUKAN KUDETA TERHADAP PEMERINTAHAN PRESIDEN SOEKARNO ?

Sesudah Peristiwa 30 September 1965 meletus, muncullah akronim-akronim seperti “ Gestapu-PKI ” , “ G30S/PKI ” , dan lain-lain. Akronim-akronim itu dengan sengaja mengkaitkan Peristiwa 30 September dengan PKI, sesuai dengan maksud yang ingin dicapai oleh penguasa Orde Baru yaitu bahwa PKI-lah dalangnya dan PKI secara keseluruhan terlibat dalam peristiwa tersebut, serta lebih lanjut dengan tujuan memukul PKI. Tindakan demikian terhadap suatu partai politik tidak pernah terjadi sebelumnya.

Tetapi Presiden Soekarno mengemukakan akronim yang lain untuk peristiwa itu, yaitu Gestok ( Gerakan Satu Oktober ) yang secara jelas tidak mengkaitkan peristiswa itu dengan PKI.Dua akronim yang secara harfiah berbeda itu pasti akan menimbulkan pertanyaan bagi siapa saja yang menginginkan kebenaran, keadilan dan kejelasan, dan akan bertanya benarkah PKI menjadi dalang dan terlibat dalam peristiwa itu?.


Selama dua dasawarsa masalah benar tidaknya PKI menjadi dalang ini oleh penguasa Orde Baru terus diputarbalik, dikisruhkan dan dibikin gelap. Media pers dilarang memberitakan keadaan obyektif peristiwa itu, bahkan beberapa harian yang melakukan itu segera kena bredel.Semua ini dengan maksud dan tujuan agar belang mereka yang sesunggguhnya tidak tersingkap di depan rakyat Indonesia, dan segala “dosa” dapat terus ditumpahkan kepada PKI dan golongan patriotik lainnya.


Untuk menutupi siapa penjahat sesungguhnya dan apa kejahatan yang sebenarnya serta meng- hindari dari reaksi keras opini umum dunia, elite penguasa Orde Baru menggunakan jubah hukum, “ rule of law ”, menyeret beberapa tokoh PKI ke depan meja hijau. Tetapi lebih dari SATU JUTA anggota PKI, simpatisan PKI dan golongan demokrat dan patriotik lainnya, dibunuh dengan kejam tanpa proses hukum, dipenjarakan atau dibuang dalam waktu panjang tanpa diadili.


Pemimpin-pemimpin PKI yang mereka “ adili ” , menjadikan mimbar pengadilan rezim fasis sebagai ajang perjuangan berhadapan muka dengan pihak rezim fasis yang berkuasa. Dari kedudukan sebagai terdakwa mereka ubah menjadi pendakwa terhadap segala kejahatan dan kebiadaban rezim fasis Soeharto.


Tetapi di pihak lain penguasa Orde Baru tidak berani membawa pemimpin-pemimpin utama PKI ke depan apa yang dinamakan Mahmillub. Mereka takut perbuatan keji dan pemutarbalik aan yang mereka lakukan terbuka di depan khalayak ramai di dalam dan di luar negeri. Oleh karena itu “ rule of law ” mereka campakkan dan pemimpin-pemimpin utama PKI yaitu: D.N.Aidit, M.H.Lukman dan Nyoto, Ketua dan Wakil-Wakil Ketua CC PKI, mereka bunuh dengan kejam, tanpa melalui proses pengadilan apapun.


Tulisan ini saya sajikan dalam upaya mentelusuri dan menjawab persoalan tersebut di atas, untuk membela kebenaran dan keadilan dari kezaliman dan kepalsuan. Di samping itu, kepada generasi muda perlu kiranya dikemukakan keadaan sebenarnya dan apa yang sesungguhnya terjadi dalam Peristiwa 30 September 1965, karena selama ini mereka hanya mendapatkan penjelasan sepihak dari elite penguasa Orde Baru yang telah memutarbalikkan keadaan yang sesungguhnya dari peristiwa itu.



I. SITUASI MENJELANG MELETUSNYA PERISTIWA
30 SEPTEMBER 1965. 


Peristiwa 30 September 1965 bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, terisolasi atau terlepas dari syarat-syarat sejarah dan waktu. Sebagai suatu gejolak politik, peristiwa itu banyak berkaitan dengan situasi-situasi yang jauh ke belakang sebelum 30 September 1965.


Kontradiksi antara rakyat Indonesia di satu pihak dengan kaum reaksioner yang didukung oleh imperialisme di pihak lain adalah suatu kontradiksi yang secara obyektif ada dalam masyarakat Indonesia yang neo-koloni dan semi-feodal. Dan adanya kontradiksi ini sedikitpun tidak ter- gantung pada kemauan siapapun atau kelompok manapun. 

Kontradiksi antara kekuatan rakyat yang mau mempertahankan serta mengkonsolidasi kemerdekaan nasional dan kedaulatan negara , yang mau mengisi kemerdekaan politik dengan pembangunan ekonomi nasional yang memakmurkan seluruh rakyat di satu pihak, dengan kekuatan-kekuatan yang mau memperta- hankan ketergantungan ekonomi pada imperialis, kekuatan-kekuatan kabir, komprador dan tuan tanah feodal di pihak lain.


Kalau saya coba meninjau jauh ke belakang sejak penandatanganan perjanjian KMB ( Konfe- rensi Meja Bundar ) sampai pada pertengahan tahun 1965, akan nyata terlihat bahwa kontradiksi tersebut bukannya makin lama makin mereda, tetapi sebaliknya makin lama makin meruncing dan tajam.


Kontradiksi itu dengan nyata dapat dilihat dari usaha kaum reaksioner dalam negeri dengan bantuan serta dukungan dari kaum imperialis, khususnya kaum imperialis Amerika Serikat, untuk menjadikan Republik Indonesia negeri yang sepenuhnya tergantung dan menjadi satelit imerialis Amerika Serikat. Usaha-usaha mereka itu terlihat dalam wujud seperti upaya kup-kup militer maupun pemberontakan-pembrontakan terhadap pemerintahan yang syah yang muncul tak henti-hentinya. Misalnya, pembrontakan-pembrontakan DI/TII (Sekarmadji Kartosoewirjo di Jawa Barat, Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan dll.); Pembrontakan PRRI/PERMESTA ( Dewan Banteng dengan Letkol. Achmad Hussein di Sumatera Barat, Dewan Gajah dengan Letkol. Maludin Simbolon di Sumatera Utara,Dewan Garuda dengan Letkol. Barlian di Sumatera Selatan, Permesta dengan Letkol. Ventje Samual dan Saleh Lahade di Sulawesi ) di tahun-tahun 1957-1958, dan usaha Kup 17 Oktober 1952 dan usaha Kup Kolonel Zulkifli Lubis pada tanggal 16 November 1956.


Presiden Soekarno sebagai seorang patriot Indonesia yang gandrung akan persatuan semua kekuatan revolusioner, berusaha keras mewujudkan “ samenbundeling van alle revolutionaire krachten ”di Indonesia melawan kaum reaksioner dalam negeri dan kaum imperialis Amerika. Beliau berusaha keras menjadikan Indonesia suatu negeri yang benar-benar menjalankan politik luar negeri “ bebas aktif ” dan anti-kolonialisme-imperialisme.Usaha Presiden Soekarno itu sudah tentu tidak disukai dan ditentang oleh kaum reaksioner Indonesia dan imperialisme Amerika Serikat, dan beliau dianggap sebagai penghalang besar bagi ambisi jahat mereka. Mereka tidak segan-segan mengambil cara keji dengan melakukan percobaan pembunuhan terhadap beliau. Hal-hal itu dapat dilihat dari serentetan fakta-fakta berikut ini: Peristiwa Cikini (1957), Peristiwa Maukar (1960), Peristiwa Idhuladha (1962) dan Peristiwa Makasar (1962).


Dari peristiwa-peristiwa yang dikemukakan di atas jelas, bahwa kaum reaksioner dalam negeri dan imperialisme berusaha keras untuk menggulingkan pemerintahan yang maju dan membunuh Presiden Soekarno, serta menegakkan pemerintahan yang sepenuhnya pro - Amerika Serikat dan mengganti Presiden Soekarno dengan seorang boneka yang sepenuhnya mengabdi mereka, tidak berhenti dari satu percobaan ke percobaan yang lain. Di samping itu, jelas pula terlihat bahwa peristiwa-peristiwa itu mempunyai ciri-ciri selalu dibenggoli oleh perwira tinggi Angkatan Darat yang pro-Barat dan yang sangat anti Komunis sebagai inti yang memainkan peranan utama di dalamnya.

Setelah Konstituante hasil pemilihan umum yang pertama kali diadakan di Indonesia, yang jauh lebih umum ,bebas, rahasia dan demokratis ketimbang tiga kali pemilihan umum di bawah Rezim Soeharto, gagal melaksanakan tugasnya untuk menyusun UUD yang baru, keluarlah Dekrit Presiden kembali ke UUD ‘45. Situasi politik Indonesia mengalami perubahan dan perkembangan maju, khususnya sesudah pidato Presiden Soekarno 17 Agustus 1959, yang berjudul “ PENEMUAN KEMBALI REVOLUSI KITA ” atau yang terkenal dengan sebutan MANIPOL .

Relevan dengan gagasan sejak mudanya yang tertuang dalam tulisannya: NASIONALISME, ISLAMISME DAN MARXISME, Presiden Soekarno mengambil langkah mempersatukan semua kekuatan demokratik, mempersatukan kekuatan nasionalis, agama dan komunis, yaitu apa yang terkenal dengan NASAKOM , dan menjadikannya sebagai dasar dari persatuan nasional, untuk menghantam kaum imperialis dan kaum reaksioner dalam negeri. Tidak hanya itu, beliau juga berusaha memupuk kekuatan-kekuatan yang berintikan NASAKOM , melakukan retuling atas aparatur-aparatur negara yang tidak sesuai dengan jiwa MANIPOL. Langkah langkah ini merupakan pukulan bagi kaum imperialis dan kaki tangannya. Politik anti-imperialis dan anti-kaum reaksioner dari Presiden Soekarno ini mendapat sokongan penuh dari kekuat- aan progresif untuk lebih lanjut mengembangkan diri.

Tetapi satu kekurangan penting pada masa itu adalah, bahwa program ekonomi pemerintah Soekarno mengalami kegagalan yang cukup berat. Usaha-usaha perbaikan yang dilakukan Presiden Soekarno tidak mencapai hasil yang diharapkan karena intrik dan sabotase dari kabir-kabir untuk menggagalkan program-program ekonomi tersebut. Tindakan pemerintah Soekarno yang bersifat anti-imperialis dengan menasionalisasi perusahaan-perusahaan dan perkebunan-perkebunan asing juga tidak membawa perbaikan ekonomi bahkan melahirkan kabir-kabir baru di kalangan Angkatan Bersenjata yang mengangkangi perusahaan-perusahaan yang diambil alih itu dengan menggunakan kesempatan baik bagi mereka dengan adanya SOB ( Staat van Oorlog en Beleg -- Keadaan Darurat Perang--).

Dengan menempati kedudukan sebagai Presdir-Presdir, perwira-perwira tinggi Angkatan Darat itu tidak hanya menjadi OKB-OKB ( Orang Kaya Baru ) , tetapi juga telah menjadi satu lapisan tersendiri yang mengangkangi sektor-sektor penting ekonomi Indonesia. Dalam hubungan ini seorang sarjana Australia, Richard Robinson, dari Murdoch University mengatakan: “ Kapitalisme birokrat pada mulanya berhubungan erat dengan pertumbuhan perusahaan negara. Ketika kepen-tingan perusahaan Belanda dinasionalisasi pada tahun 1957-1958, sebagian perusahaan itu berada di bawah militer ”. [1]

Demikian pula tindakan Presiden Soekarno yang dalam batas tertentu bersifat anti-feodal dengan mengeluarkan UUPA ( Undang-Undang Pokok Agraria ) dan UUPBH ( Undang- Undang Pokok Bagi Hasil ) tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya karena disabot dan dihalangi oleh tuan-tuan tanah feodal dan kaum reaksioner lainnya.

Dalam perkembangan selanjutnya kabir-kabir berbaju hijau itu tidak hanya merupakan kekuat- aan penting, tetapi juga menjadi sumber dana taktis operasional bagi perebutan kekuasaan oleh Dewan Jendral. Contoh yang menyolok dalam hal ini ialah praktek-praktek Jendral Ibnu Soetowo dengan Pertaminanya, setelah Soeharto naik panggung. Dan tentu saja kapital monopoli Amerika Serikat dan CIA-nya masuk ke Indonesia lewat kabir-kabir yang berbaju hijau ini dan teknokrat-teknokrat sipil didikan Berkeley.

Sesuai dengan program umumnya, PKI menggunakan semaksimal mungkin hak legal yang ada, dengan konsekwen menyokong setiap gagasan, politik dan tidakan maju Presiden Soekarno. Pengaruh PKI makin luas di dalam masyarakat Indonesia; kenyataan ini tidak hanya diakui oleh kawan dan sahabat tetapi juga oleh lawan dan musuh PKI. Hal ini tercermin tidak tidak saja pada organisasi PKI yang tersebar luas di seluruh negeri dan jumlah anggotanya yang besar, tetapi juga secara kongkrit dalam pemilihan umum pertama, ketika PKI telah keluar sebagai salah satu dari empat partai besar. Wakil PKI pernah duduk sebagai Wakil Ketua Konstituante. Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 peranan dan posisi PKI dalam percaturan politik Indonesia meningkat dalam batas tertentu. Hal ini terlihat dari kenyataan, bahwa anggota-anggota PKI atau tokoh-tokoh yang didukung PKI dapat menduduki posisi penting dalam lembaga-lembaga negara dan pemerintahan, seperti selaku Wakil Ketua MPRS, Wakil Ketua DPRGR, Wakil Ketua DPA, Depernas 
( Dewan Perancang Nasional ), Front Nasional, Menteri-Menteri, Duta Besar dan pejabat-pejabat tinggi di berbagai Departemen. Di daerah ada yang menjabat sebagai Gubernur atau Wakil Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I, Wakil Ketua DPRD, Kepala Daerah Tingkat II, Walikota atau Wakil Walikota dan lain-lain.

PKI bekerja keras untuk bersatu dengan kekuatan nasional lainnya, memperkokoh kemerdekaan nasional Indonesia dan memebri sumbangannya untuk pembangunan ekonomi nasional yang kuat . Presiden Soekarno yang dengan konsisten mengusahakan persatuan seluruh bangsa Indonesia menganggap kekuatan komunis sebagai bagian yang tak dapat dikurangi dari persatuan itu. Hal ini antara lain termanifestasi dalam ucapan beliau dalam penutupan Konggres ke-VI PKI ( 16 September 1959 ) “ Yo sanak, yo kadang, malah yen mati aku sing kelangan ”. Hal ini membuat kaum reaksioner dalam negeri dan imperialis AS sangat tidak puas.

Alasan yang pokok bagi PKI menyetujui kembali ke UUD’45 sekalipun dengan Dekrit Presiden, setelah gagal melalui Konstituante, adalah karena pemerintah di bawah pimpinan Presiden Soekarno, berdasarkan UUD’45, yang memberikan wewenang yang cukup luas bagi Presiden, diharapkan rakyat akan dapat memiliki kebebasan politik dan hak-hak demokrasi yang lebih luas, sehingga rakyat dapat memperkuat tuntutannya untuk terbentuknya kabinet gotong-royong di mana PKI dapat ikut serta di dalamnya. Ini memberi kekuasaan yang besar pada Presiden Soekarno yang diharapkan akan membentuk kabinet gotong-royong berporoskan Nasakom. Tetapi kekuatan-kekuatan anti komunis, terutama di dalam angkatan bersenjata melawan usaha Presiden Soekarno itu. Dengan segala cara dan tipu muslihat mereka membatasi gerak PKI, khususnya dalam keleluasannya untuk membangkitkan massa melawan politik-politik pemerintah yang salah dan sabotase kaum reaksioner di bidang ekonomi.

Dibawah pimpinan Presiden Soekarno dilakukan pembubaran partai -partai oposisi secara tidak demokratis, yang akhirnya menjadi preseden di zaman Orde Baru , di bawah pimpinan Presiden Soeharto dalam wujud yang lebih tanpa batas lagi dalam menentukan hidupnya parpol dan ormas.

Perjuangan untuk demokrasi bagi rakyat di bawah demokrasi terpimpin dari Presiden Soekarno, jadinya suatu perjuangan di lapisan ata saja, bukan suatu perjuangan massa rakyat dari bawah, yang melalui jalan revolusioner akan menegakkan negaranya sendiri.Perkembang an sesudah “ Manipol ” menunjukkan bahwa titik berat semakin diletakkan pada perjuangaan “ dari atas ” dan kebebasan massa rakyat melakukan perjuangan “ dari bawah “ justru semakin dibatasi


II. KOMPLOTAN KUP JENDRAL JENDRAL ABRI.

Dari uraian mengenai situasi Indonesia sebelum terjadinya Peristiwa 30 September di atas akan terlihat jelas adanya sejumlah besar perwira tinggi AD yang komunisto- phobi, yang pro-Barat dan sembunyi-sembunyi manyabot dan menentang politik-politik dan gagasan maju Presiden Soekarno. Mereka itu tidak saja aktif di bidang militer, tetapi juga di bidang politik, dan di bidang ekonomi telah muncul lapisan kapitalis birokrat berbaju hijau yang mengangkangi sektor-sektor ekonomi yang penting. Melalui mereka inilah kaum reaksioner Indonesia dan imperialis AS hendak mewujudkan ambisi jahatnya yang sudah lama dicita-citakan yaitu menegak kan kekuasaan pro-Barat di Indonesia dan menggulingkan Soekarno. Untuk lebih jelasnya ada baiknya dikemukakan fakta-fakta berikut ini:

(1). “ Pada bulan Januari 1965 Jendral A.Yani dan 4 jendral lainnya telah mengadakan rapat-rapat bersama secara rahasia untuk mendiskusikan situasi politik (yang dikatakan memburuk). Di kalangan AD ini dikenal sebagai “ General Yani’s Braintrust ” ( Badan Inti Politik ). [2] Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh salah seorang yang ikut menegakkan Orde Baru, katanya: “ Konon kabarnya untuk memecahkan berbagai masalah itu sejak beberapa waktu ini di kalangan Markas Besar AD dibentuk brain trust yang terdiri dari 4 orang. Di samping itu ada badan yang diwujudkan oleh para Panglima yang jumlahnya 16 orang. Sehingga ada sebut- aan 4 ditambah 16 perwira tadi merupakan semacam Great Council atau Dewan Besar pihak tentara yang kalau hendak dicari analoginya dalam kehidupan partai merupakan politbiro ”. [3]

(2). “ Pada tanggal 27 dan 28 Mei Jendral A.Yani sendiri sebagai Pangad pernah dalam rapat para Panglima Daerah AD menyatakan bahwa telah dibentuk Dewan Jendral yang tugasnya memberikan penilaian politik ”.[4] 

(3). “ Pada tanggal 8 Juni 1965 di tempat kediaman Chairul Saleh dilangsungkan pertemuan antara Jendral A.Yani dan Jendral Haryono dengan tokoh-tokoh PNI. Dalam pertemuan itu diusulkan oleh Jendral A.Yani dan Jendral Haryono serta Jendral Soekendro untuk memben- tuk kerja sama antara PNI-FM dengan TNI/AD untuk melawan PKI. Usul itu ditolak dan tidak mendapat sambutan dari tokoh-tokoh PNI ”. [5].

(4).” Dalam sidang Mahmillub terungkap fakta bahwa pada tanggal 21 September 1965 di A.H.M. ( Akademi Hukum Militer ) Jln.Dr. Abdulrachman Saleh Jakarta berlangsung rapat pleno Dewan Jendral. Rapat ini dipimpin oleh Jenral S.Parman dan Jendral Haryono serta mensahkan rencana komposisi Kabinet Dewan Jendral dan menetapkan waktu kudeta, yaitu sebelum Hari Angkatan Perang 5 Oktober 1965 ”.[6].

(5). Setelah meletusnya Peristiwa 30 September, yaitu pada tanggal 1 Oktober 1965, sejumlah perwira tinggi AD berkumpul di Kostrad ( Komando Strategis Angkatan Darat ) melakukan kegiatan yang menentang Presiden/Panglima Tertinggi Soekarno. Kegiatan itu antara lain yalah tidak diperbolehkannya Jendral Umar Wirahadikusuma (sekarang Wakil Presiden), yang pada waktu itu sebagai Pangdam V Jaya/Jakarta Raya, yang juga dipanggil Presiden Soekarno, Soeharto dengan galak dan angkuh mengatakan kepada kurir pribadi Presiden Soekarno dalam bahasa Belanda: “ Jendral Umar blijft hier ! ”.[7].

(6). Dalam sidang Mahmillub, alm.Jendral Soepardjo mengatakan bahwa ia mempunyai bukti tentang adanya Dewan Jendral dan agar diizinkan untuk mengambil bukti yang pada waktu itu berada di MBAD ( Markas Besar Angkatan Darat ), tetapi tidak diperbolehkan oleh pihak penguasa.

(7). Suatu kenyataan bahwa, sesudah Soeharto memegang kekuasaan, segala fungsi dalam kabinet, lembaga-lembaga negara, seperti DPR, MPR, DPA, MA, BPK, Presdir-Presdir atau Dirut-Dirut Perusahaan Negara, Gubernur-Gubnernur, Duta-Duta Besar hampir semuanya di- dominasi oleh perwira-perwira tinggi ABRI, khususnya dari AD.

Dari fakta-fakta di atas dapatlah dipastikan adanya komplotan Jendral-Jendral ABRI mengkup, menumbangkan pemerintah Presiden Soekarno.


III. HAKEKAT PERISTIWA 30 SEPTEMBER 1965. 

ABRI khususnya AD lahir dari kancah perjuangan kemerdekaan Indonesia melawan kolonialisme Belanda dan fasisme Jepang. Karenanya massa prajurit dan perwira AD yang luas adalah patriotik, anti imperialisme dan kolonialisme. Kekuatan yang pro Barat adalah segelintir perwira tinggi saja. Oleh karena itu pula dalam AD terpendam kekuatan yang anti Dewan Jendral, dan konsekwen berdiri di pihak rakyat, setia akan ajaran Bung Karno, ingin mewujudkan da- lam kenyataan segala politik dan gagasan maju beliau. Mereka ingin mendobrak segala rintang aan dan kemacetan serta sabotase dari kaum reaksioner terhadap politik dan gagasan Bung Karno dan dengan penuh kejujuran berhasyrat mengubah kehidupan rakyat yang berat pada waktu itu.

Dalam pertengahan tahun 1965, kaum reaksioner yang berintikan Dewan Jendral dan yang mendapat sokongan dari kaum imperialis AS semakin merasa tidak puas dengan siatuasi poli- tik di Indonesia yang semakin kiri serta pukulan gencar terhadap mereka. Ultah PKI ke-45 mereka anggap sebagai “pamer kekuatan” dan mereka mulai mematangkan persiapan yang sudah lama dilakukannya yaitu memukul PKI dan menggulingkan Soekarno, menindas PKI dan menegakkan pemerintah ynag pro Barat. 

Musuh-musuh rakyat Indonesia dan Presiden Soekarno di dalam dan di luar negeri faham benar bahwa rintangan yang terutama bagi mereka untuk mengambil alih semua kekuasaan di negara Republik Indonesia adalah PKI sebagai suatu kekuatan politik yang paling berpengaruh dan terorganisasi di Indonesia di zaman Presiden Soekarno.

Karena telah tercium bau bahwa Dewan Jendral akan melakukan perebutan kekuasaan atau kup dan hendak membunuh Presiden Soekarno, perwira-perwira muda yang maju bertindak mendahului, melakukan aksi pada tanggal 30 September 1965 tengah malam. Adalah jelas terlihat bahwa titik tolak perwira-perwira muda itu adalah membela dan melindungi pemerintah Soekarno dan Bung Karno pribadi, di samping itu maksud mereka juga berusaha menyelamatkan citra AD. Hal ini tampak jelas tercermin dalam Dekrit No.1 Tentang Pembentukan Dewan Revolusi: “ Demi keselamatan Negara Republik Indonesia, demi keselamatan Angkatan Darat dan Angkatan Bersenjata pada umumnya, pada waktu tengah malam hari Kemis tanggal 30 September 1965, di Ibukota Republik Indonesia Jakarta , telah dilangsungkan gerakan pembersihan terhadap anggota-anggota apa yang dinamakan Dewan Jendral yang meren- canakan coup menjelang Hari Angkatan Bersenjata 5 Oktober 1965 ”.[8]. Hal ini diperkuat oleh kata-kata Bung Karno sehari sesudah terjadinya peristiwa itu: “ Saya berada di satu tempat, dalam keadaan sehat. Ini disebabkan hal-hal dalam Angkatan Darat yang terjadi tadi malam. Anak-anak yang mengadakan ‘ revolusi ’ itu tidak menentang saya , tetapi menyelamatkan saya. Jadi janganlah cemas ”[9].

Dari penjabaran di atas sampailah pada kesimpulan bahwa Peristiwa 30 September 1965 me- rupakan peledakan dari pertentangan antagonistis di antara dua kekuatan politik di dalam Angkatan Darat ; jadi jelas merupakan masalah intern Angkatan Darat. 

IV. Kup Merangkak Soeharto 

Bagamana Soeharto sampai ke puncak tertinggi kekuasaan negara Republik Indonesia dan cara apa yang ditempuhnya ada baiknya ditelusuri fakta-fakta berikut ini.

1. Seperti telah dikemukakan di bagian depan tulisan ini ( bagian II ) yaitu berkumpulnya sejumlah jenderal di Kostrad yang melakukan tindakan pembangkangan, menentang dan tidak mau melaksanakan perintah-perintah dan instruksi Presiden Soekarno.Ini adalah suatu tindak- aan insubordinasi yang merupakan pelanggaran serius atas Sumpah Prajurit dan Saptamarga
ABRI. Tindakan kongkritnya diantaranya sebagai berikut:

(a). Soeharto bukan hanya tidak mau melaksanakan perintah Presiden Soekarno, tetapi mengangkat dirinya sebagai Pimpinan Angkatan Darat. Dalam kaitan ini Soeharto dan kliknya menggunakan dalih bahwa tindakan itu “ sesuai dengan S.O.P.( Standard Operating Procedure -- pen. ) yang berlaku ”[10]. Dan Soeharto sendiri menyatakan : “ ...... karena saya adalah satu-satunya panglima lapangan yang masih dalam keadan dapat bertindak. Saya pernah ditugaskan sebagai Pejabat Kepala Staf Angkatan Darat pada waktu Jenderal Yani tidak ada ditempat ”.[11]. Tetapi kalau ditelaah lebih lanjut, argumen mereka itu tidak dapat dibenarkan karena Presiden Soekarno selaku Panglima Tertinggi ABRI telah mengeluarkan Perintah Presiden/ Panglima Tertinggi ABRI/ Pemimpin Besar Revolusi Indonesia yang menyatakan: “ pimpinan Angkatan Darat R.I. sementara berada lansung dalam tangan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI. Bahwa untuk melaksanakan tugas sehari-hari dalam Angkatan Darat ditugaskan untuk sementara Mayor Jenderal TNI Pranoto Reksosamoedro Ass III/Pangad ”.[12]. Perintah Presiden/ Panglima Tertinggi ABRI itu dikeluarkan pada tanggal 1 Oktober 1965, yang berarti S.O.P. tidak mempunyai dasar lagi.

(b). Pada tanggal 1 Oktober 1965 itu juga Presiden Soekarno telah mengirim Laksamana E . Martadinata ke Markas Kostrad dengan perintah agar Jenderal Soeharto menghadap Presiden. Tetapi, Jenderal Soeharto menolak perintah itu.

(c). Pada tanggal 1Oktober pada jam yang hampir bersamaan seperti tersebut butir (b), Presiden /Panglima Tertinggi ABRI Soekarno memerintahkan penghentian tembak menembak antara kesatuan-kesatuan Kostrad yang berada di bawah komando Soeharto dengan kekuatan-kekuatan G-30S . Perintah itu tidak dilaksanakan Soeharto, tetapi dilaksanakan oleh pihak G-30S.

2. Tindakan pemaksaan terhadap Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto malalui Surat Perintah 11 Maret ( yang mereka beri nama mistik “ Super Semar ” ; dalam tulisan ini, menggunakan akronim SP 11 Maret ). Dengan ditanda-tanganinya SP 11 Maret yang oleh O.G.Roeder dikatakan “ Surat Perintah pemindahan kekuasaan eksekutif kepada Soeharto ”, maka “ dualisme kebijaksanaan/policy ” telah berakhir, usaha Soeharto telah mencapai tujuannya, de fakto Presiden Soekarno sudah tidak memegang kekuasaan lagi.

Oleh karena SP 11 Maret begitu menetukan sifatnya; maka perlu ditelusuri situasi dan bagai- mana lahirnya SP 11 Maret tersebut, dengan fakta-fakta berikut ini:

(a) .Setelah Soeharto mengangkat dirinya sebagai pimpinan Angkatan Darat, maka “pada wak- tu itu jelas terdapat dualisme kebijaksanaan/policy yaitu: Di satu pihak kebijaksanaan Presiden Soekarno .... dan di pihak lain kebijaksanaan/policy Angkatan Darat ”.[13].
(b). Jenderal Soeharto dan penyokongnya menggunakan pasukan RPKAD ( Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat ) berpakaian seragam militer, tetapi tanpa tanda pengenal pangkat dan kesatuannya. ‘ turun ke jalan ’ menstimulir adanya demonstrasi yang terus-menerus berlangsung dan makin meningkat, kekacauan dan anarki menjadi-jadi. Situasi pada waktu itu digambarkan oleh seorang demonstran : “ Demonstrasi besar-besaran secara serempak melanda berbagai tempat .....”. “ Suasana kacau balau hiruk-pikuk, lalu lintas macet, kegiatan produktif berhenti ”.[14].

(c). Pada tanggal 11 Maret 1966 ( pagi ) berlangsung sidang Kabinet Dwikora, di mana Soeharto sebagai Pangad pada wktu itu tidak hadir karena “ sakit ” . Pada waktu itu, “ di luar
desas-desus tersebar, bahwa Jenderal Soeharto akan dicopot dan banyak perwira tinggi akan diajukan ke Mahmillub ” .[15].

(d). Waktu sidang Kabinet tersebut berlangsung , Istana Negara dikepung oleh “ pasukan Para Komando ” , sidang Kabinet hanya berlangsung kurang lebih 10 menit , kemudian Presiden Soekarno bersama dua pembantu dekatnya bergegas ke Bogor dengan helikopter ”.[16].

(e). Atas perintah Jenderal Soeharto suatu delegasi yang terdiri dari tiga jenderal ( Basuki Rachmat, M. Jusuf dan Amir Machmud ) menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor. Sebelum berangkat ke Istana Bogor salah seorang dari tiga jenderal itu mengusulkan agar “ kita masing-masing bawa stengun saja ”.[17]. Sehubungan dengan berangkatnya tiga orang jenderal ke Istana Bogor perlu didalami apa yang dikemukakan oleh salah seorang tokoh KAMI ( Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia ), katanya : “ Tiga orang jenderal, utusan Jenderal Soeharto menghadap Presiden di Istana Bogor ...... mereka membuat perumusan antaranya ‘ atas nama Presiden ’, maka segala kekuasaan untuk mengamankan ketegangan dewasa ini diserahkan kepada Letnan Jenderal Soeharto ”.[18]. Amir Machmaud sendiri mengakui : “ Setelah saya pelajari maka saya berseru : ‘ Kok ini penyerahan kekuasaan’ ”.[19].

Dari situasi yang melatarbelakangi lahirnya SP 11 Maret, dapat disimpulkan bahwa Presiden Soekarno ditekan/diancam dengan kekuatan bersenjata. Amir Machmud sendiri mengungkap- kan peristiwa itu dengan: “ Naskah tersebut dibaca oleh Bung Karno secara tekun dan tenang. Kemudian beliau bertanya: ‘ Bagaimana ya, saya tandatangani atau tidak?’.Berulang kali beliau menanyakan dengankalimat sebagai berikut: ‘ Saya tandatangani atau tidak?’. Hal itu ditanya- kan juga kepada anggota Presidium. Mengingat bahwa dengan adanya keragu-raguan dari Bung Karno, masalahnya bisa buyar kembali ...... ”.[20].

Isi yang pokok dari SP 11 Maret itu ialah mengandung pemberian wewenang kepada Soeharto untuk “ mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS demi keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia, dan melaksana- ka n dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi ”.[21].

Jika diteliti sungguh-sungguh, materi dari SP 11 Maret itu merupakan wewenang-wewenang yang tidak dapat diberikan oleh Mandataris/Presiden kepada orang lain. Materi SP 11 Maret itu sudah melampaui kewenangan yang diberikan MPRS kepada mandataris. Dari segi materi nya SP 11 Maret tidak sah, dan ditinjau dari prosesnya yakni dibuat di bawah tekanan kekeras
aan maka SP 11 Maret itu tidak sah. Dengan menyalahgunakan SP 11 Maret, Soeharto dengan dukungan penuh Dewan Jenderal serta kekuatan kanan dan imperialisme Amerika Serikat mulai melakukan tindakan-tindakan untuk lebih lanjut mewujudkan ambisi yang sudah lama yaitu menggulingkan pemerintahan Presiden Soekarno.

TINDAKAN-TINDAKAN ITU ADALAH SEBAGAI BERIKUT: 

(1). Pada tanggal 12 Maret 1966 membubarkan PKI ( penghalang utama dalam mewujudkan ambisi dan merealisasi politik-politiknya yang mengabdi imperialisme ) dan melarang Marxis me- Leninisme.

Pembubaran PKI tidak tercantum dalam SP 11 Maret, samasekali tidak ada perintah Presiden Soekarno untuk itu. Setelah mendengar pembubaran PKI, Presiden Soekarno menyatakan kemarahannya. Untuk menyampaikan teguran keras, beliau mengutus Dr.J. Leimena menemui Soeharto. Dan kemudian “ ...... kita bertiga mendapat perintah untuk menghadap lagi kepada Bung Karno di Bogor, kita dimaki-maki ”. “ Pada waktu itu Bung Karno berkata demikian: ‘ Kamu salah memberi- tahukan kepada Soeharto. Salah menjelaskannya. Tidak ada tercantum pembubaran PKI di dalam Instruksi itu ’ " [22] Teguran keras Presiden Soekarno ini diakui sendiri oleh Soeharto. Dalam suatu briefing tanggal 14 Maret 1966, Soeharto mengutip kata-kata Presiden Soekarno yang mengatakan: “ Saya perintahkan untuk kembali kepada pelaksanaan surat perintah Presiden/Pangti/Mandataris/Pemimpin Besar Revolusi, dengan arti melak sanakan secara tekhnis belaka dan tidak mengambil dan melaksanakan keputusan di luar bi- dang tekhnis ”.[23].

(2). Pada tanggal 18 Maret Soeharto menangkap dan menahan 15 orang menteri Kabinet Dwikora serta mengangkat menteri-menteri ad interim untuk menggantikan mereka yang ditangkap.

(3). Melakukan pengebirian besar-besaran terhadap MPRS baik pimpinan maupun anggota-anggotanya menjelang Sidang Umumnya yang ke-IV ( antara tanggal 12 Juni s/d 6 Juli ) sehingga MPRS menjadi badan yang sepenuhnya mengabdi dan mendukung tindakan Soeharto

(4). Pada tanggal 21 Juni 1966 dalam Sidang Umum MPRS menetapkan Soeharto untuk menyusun Kabinet Baru ( walaupun Soekarno sebagai Presiden dan secara formal beliau masih menjabat ).

(5). Pada bulan Maret 1967 MPRS yang telah dikebiri memutuskan secara “ konstituasional ” menyingkirkan Presiden Soekarno, dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden dan bersamaan dengan itu melarang Presiden Soekarno melakukan kegiatan politik. Dan pada tanggal 27 Maret 1968 Soeharto ‘diangkat menjadi presiden penuh’, sedangakan Soekarno dikenakan tahanan rumah sampai beliau wafat tahun 1970.

Dari sederetan fakta yang menunjukkan bagaimana naik panggungnya Soeharto tersebut di depan, jelas-jemelas adanya suatu perebutan kekuasaan atau kup militer terhadap Presiden Soekarno, suatu kup yang dilakukan secara lihai dan keji serta bertahap, inilah yang dilakukan kup merangkak atau “ creping coup d’etat ”.

Tetapi saya ingin pula membahas sedikit masalah kup merangkak Soeharto itu yang diberi stempel karet “ konstitusional ”, yang sebenarnya adalah tidak konstitusional. Hal itu dapat dilihat dari penjelasan singkat berikut ini : Seperti telah dikemukakan di depan bahwa SP 11 Maret merupakan penyerahan sebagian kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto. Penyerahan eksekutif dari tangan Presiden Soekarno yang masih mampu melaksana- kan tugas-tugasnya adalah bertentangan dengan UUD’45 pasal-pasal 5,10,11,12,13,14,15,16 dan ayat 2 pasal 17. Menurut UUD’45, ayat 1, dinyatakan bahwa Presiden RI memegang ke- kuasan pemerintahan menurut UUD. Kemudian dalam penjelasan UUD No.XIV dinyatakan sebagai berikut: “ Di bawah MPR, Presiden yalah penyelenggara pemerintahan tertinggi.Dalam
menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggungjawab ada di tangan Presiden ”. Pada waktu Soeharto dengan SP 11 Maret melakukan tindakan seperti dipaparkan di atas, pada waktu Presiden RI tidak sedang pergi ke luar negeri, tidak berhalangan untuk memimpin negara, malahan pada masa itu masih aktif memimpin sidang-sidang kabinet.
Dari uraian di atas dapatlah diambil konklusi bahwa semua tindakan Soeharto dengan menggunakan SP 11 Maret sebagai landasan hukum adalah tidak sah, adalah tindakan inkon- stitusional. Pengambilan wewenang Presiden Soekarno oleh Jenderal Soeharto di mana beliau masih dimungkinkan untuk bertindak sendiri sesuai dengan UUD’45 adalah jelas merupakan tindakan kup, tindakan perebutan kekuasaan.

Kup merangkak Soeharto yang diuraikan di atas merupakan suatu tindakan yang penuh keli- cikan, yang dalam batas tertentu bisa mengelabui orang awam, karena itu perlu disingkap. Tindakan Soeharto itu dapat digeneralisasi dari berbagai segi berikut ini :

Pertama, seperti diungkapkan oleh Kol.Latief dalam pengadilan Mahmillub, bahwa Soeharto sesungguhnya mengetahui akan adanya aksi oleh perwira-perwira muda yang maju pada tanggal 30 September 1965 malam. Hal ini agak banyak disingkap oleh Soenardi SH, pembela kasus R.Sawito Kartowibowo (lihat Surat Soenardi SH tertanggal 1 Januari 1981, yang mengutip Memori banding R.Sawito Kartowibowo). Untuk jelasnya dikemukakan beberapa fakta berikut ini:

(1). Dua minggu sebelum Peristiwa 30 September 1965, Kol. Latief telah menghadap Jenderal Soeharto dan memperbincangkan adanya Dewan Jenderal yang hendak/merencanakan kup terhadap pemerintah Presiden Soekarno. Kemudian dua hari sebelum terjadinya Peristiwa 30 September Kol. Latief ( bersama isteri ) datang ke rumah Panglima Kostrad di Jalan Agus Salim sekali lagi menyampaikan laporan adanya Dewan Jenderal yang hendak mengadakan kup. Oleh Soeharto berita tersebut hanya disambut, bahwa sehari sebelumnya dia menerima laporan dari seorang prajurit bekas anak buahnya dari Jogja. Setelah menerima berita tersebut Soeharto tidak melaporkannya kepada Presiden/Panglima Tertinggi ABRI, tetapi bahkan me- ngambil langkah-langkah sendiri, mendatangkan pasukan ke Jakarta dalam siap tempur garis pertama dengan radiogram Panglima Kostrad.

(2). Beberapa jam sebelum terjadinya Peristiwa 30 September, Kol.Latief telah memberitahu- kan dan melaporkan kepada Soeharto bahwa dia dan kawan-kawannya akan melakukan gerakan militer di tengah malam tanggal 30 September untuk menggagalkan rencana makar Dewan Jenderal, yaitu melakukan kup terhadap pemerintahan Soekarno. Setelah mendengar laporan itu Soeharto samasekali tidak mencegah tindakan yang diambil oleh Kol.Latief bersa- ma kawan-kawannya.

Sehubungan dengan dua fakta tersebut ada dua masalah yang menimbulkan pertanyaan:

(a). Mengapa dalam buku O.G.Roeder “ Soeharto Dari Prajurit Sampai Presiden ” ( yang isi- nya diperiksa dan disetujui lebih dulu oleh Soeharto dan pembantu-pembantunya ) Soeharto tidak menyinggung mengenai Kol.Latief, padahal dia adalah salah satu tokoh dari “ Gerakan 30 September ”?.
(b). Ketika pada tanggal 30 September malam, Jenderal Soeharto berada di Rumah Sakit Gatot Soebroto hanya dengan alasan menengok anak yang sedang dirawat, karena ‘ketumpahaan sop panas’?. Dari fakta yang diungkapkan Kol. Latief sebenarnya pada waktu itu Soeharto menunggu kedatangannya untuk menerima laporan mengenai perkembangan situasi sekitar Dewan Jenderal. Dalam buku O.G.Roeder tersebut Soeharto sepatah katapun tidak menying- gung pertemuan dengan Kol. Latief itu. Tetapi dalam wawancaranya dengan Brackman, dalam “ The Communist Collapse In Indonesia ” ( hal.100 ) Soeharto mengakui menerima kun- jungan Kol. Latief. Menurut Soeharto Kol. Latief pura-pura menanyakan keadaan kesehatan anaknya, sebenarnya ingin mengetahui keadaan dirinya. Tetapi dalam wawancara dengan majalah “ Der Spiegel ” pada tahun 1970, mengenai masalah tersebut Soeharto memberikan penjelasan lain lagi, katanya Kol. Latief datang bermaksud untuk membunuhnya, tetapi tidak sampai hati untuk melakukannya. Mengapa Soeharto dalam masalah ini tidak berbicara sama sekali, kemudian berbicara dalam dua kesempatan tetapi isinya berbeda-beda?.

Soeharto sesungguhnya sangat berkepentingan atas tindakan yang diambil oleh Letkol.Untung.

Untung bersama kawan-kawannya bertindak terhadap sejumlah Jenderal pada tanggal 30 September malam itu. Karena jenderal-jenderal itu adalah rival-rival Soeharto, khususnya Jenderal A.Yani, rival utama yang dianggap sebagai penghalang utama untuk memperoleh kedudukan tertinggi dalam AD. Bukanlah rahasia umum lagi waktu itu di kalangan perwira-perwira AD bahwa Soeharto merasa sangat tidak puas dengan diangkatnya Jenderal A.Yani sebagai Pangad. Putusan Presiden Soekarno mengangkat Jenderal A.Yani tidak bisa diterima oleh Soeharto, karena sebagai perwira TNI ia merasa dirinya lebih senior. “ Kekecewaan ” Soeharto begitu hebatnya, sehingga ia mengambil keputusan untuk mengundurkan diri dari ABRI dan mohon berhenti kepada Presiden Soekarno. Permohonan itu tidak diterima dan ditolak oleh Presiden Soekarno, dan beliau mengatakan bahwa kelak Soeharto akan menerimagilirannya. Penolakan Presiden Soekarno itu demi kepentingan Soeharto sendiri, karena Soeharto tidak memiliki skill ( kepandaian ) lain kecuali sebagai seorang militer. Oleh karena itulah, dengan terbunuhnya Jenderal A.Yani, rasa dendam dan iri hati Soeharto dengan sendi- rinya telah terbalas, tanpa dia melakukan sendiri.

(3). Gerakan 30 September dalam aksinya sesungguhnya juga menggunakan pasukan reguler Kostrad yaitu Bat.454 dan Bat.530 yang sejak tanggal 30 September pagi telah berada di lapangan Merdeka, di muka Istana Merdeka. Tetapi selanjutnya pasukan-pasukan yang berada di bawah Kostrad juga, yaitu RPKAD digunakan untuk menumpas Gerakan 30 September.Komandan Kostrad pada waktu itu adalah Soeharto sendiri.

Dari fakta-fakta yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Soeharto mengetahui akan adanya gerakan yang dilakukan oleh perwira-perwira muda pada tanggal 30 Septem- ber malam. Semula ia menempatkan diri sebagai orang yang berlayar di atas dua perahu; tetapi ia dengan sangat licik menutup dirinya kepada kedua belah pihak yang sedang ertentangan. Kalau tindakan yang dilakukan perwira-perwira muda itu berhasil menggagalkan kup Dewan Jenderal, ia buat sementara waktu akan turut dengan mereka, menggunakan keberhasilan me- reka untuk meningkatkan dan memperkuat kedudukan dan kekuasaannya, sambil menunggu saat yang paling menguntungkan untuk merebut semua kekuasaan, memukul PKI dan me- nyingkirkan Soekarno. Kalau Dewan Jenderal berhasil dengan kupnya, karena dia sendiri adalah jenderal, maka dia ikut menang, kedudukan dan posisinya tentu juga akan meningkat, untuk selanjutnya menunggu saat mengambil alih kekuasaan ke tangan dan kliknya sendiri.

Tetapi begitu melihat bahwa perkembangan Peristiwa 30 September memungkinkan dia dan kliknya untuk segera melakukan kup yang menurut pertimbangannya akan berhasil, maka Soeharto dengan menggunakan sekutu yang buat sementara dapat dikelabui, maka ia segera memukul Gerakan 30 September.

Menggunakan tangan Gerakan 30 September untuk memukul dan menghancurkan rival-rival-nya sesama jenderal, dengan demikian memudahkan dia naik ke jenjang tertinggi kekuasaan, dan kemudian dia menggunakan terbunuhnya 6 jenderal sebagai dalih untuk menghancurkan Gerakan 30 September, memukul PKI dan menggulingkan Presiden Soekarno. Inilah tindakan pertama yang sangat licik dan keji dari Soeharto.

Kedua, Soeharto sangat jelas dan mengerti ketinggian kewibawaan Presiden Soekarno pada waktu itu. Untuk menggulingkan Presiden Soekarno baginya tidak mungkin dia melakukannya segera dengan cara terang-terangan, tetapi ia menggunakan cara “halus” yaitu dengan Soekarno menggulingkan Soekarno. Dengan adanya Surat Perintah 11 Maret yang ditanda-tangani oleh Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/ Mandataris MPRS di tangannya, Soeharto dengan mudah bertindak utnuk pertama-tama menghancurkan kedudukan hukum kekuatan yang konsekwen mendukung Presiden Soekarno yaitu dengan pelarangan PKI yang didahului dengan penghancuran secara fisik.Setelah kekuatan itu dapat dilumpuhkan dia lalu menggulingkan Presiden Soekarno dan menahan-rumahkan beliau sampai beliau wafat dalam keterpencilan pada tahun 1970. Menggunakan “ tangan ” Soekarno menghancurkan kekuatan-kekuatan yang mendukung Soekarno, kemudian merebut kekuasaan dari tangan Presiden Soekarno, adalah tindakan yang sangat licik dan keji kedua dari Soeharto.

Ketiga, kup-kup militer seoerti yang terjadi Afrika dan Amerika Latin agak mudah dilihat oleh mata orang awam. Soeharto pun mengerti akan hal itu. Karena itu, untuk menutup tindakan kupnya, Soeharto menggunakan badan “ konstitusional ” yaitu MPRS. Melalui badan tersebut dia “ dipilih ” ( baca mengangkat diri ) menjadi pejabat Presiden kemudian menjadi Presiden penuh, di mana dia terlebih dahulu melakukan pengebirian besar-besaran atas MPRS sehingga menjadi badan yang sepenuhnya mendukung dan mengabdi kepentingannya. Menggunakn stempel karet “ konstitusional ” untuk menutupi dan menyelubungi tindakan inkonstitusional adalah tindakan licik dan keji ketiga yang dilakukan Soeharto.

Dalam praktek selanjutnya sampai dewasa ini, sesungguhnya tidak hanya dalam tiga hal ter- sebut di atas kelicikan Soeharto. Satu hal lagi ialah, dia sangat lihai dalam menghimpun dan menggunakan orang-orang di sekitarnya. Orang-orang yang pada masa awal mendukungnya dalam merebut kekuasaan, diberinya kedudukan, tetapi sesudah merasa posisinya kuat, satu per satu orang-orang itu dicampakkan dan ditinggalkannya begitu saja, jika dia merasa bahwa orang itu mulai ada tanda-tanda akan menjadi saingannya, atau membahayakan kekuasaannya, atau karena orang itu sedikit saja tidak sependapat dengan dia. Lihatlah apa yang terjadi dengan Jenderal Nasution, Sultan Hamengku Buwono IX, Jenderal Soemitro, Adam Malik, Jenderal M.Yusuf, Jenderal H.R.Dharsono dan lain-lain, bukankah demikian adanya?.

V. PERANAN CIA DALAM KUP MERANGKAK SOEHARTO.

Di belakang kup merangkak Soeharto bukannya tidak mungkin bahkan dapat dipastikan ada- nya peranan imperialisme Amerika Serikat dan CIA nya. Perkembangan situasi politik sesudah kup Soeharto, sangat menguntungkan imperialisme Amerika Serikat, Inggris, Jepang dan negeri-negeri imperialisme Barat lainnya, dan tidak menguntungkan rakyat Indonesia, merugi kan perjuangan anti-imperialisme dan anti-feodalisme serta revolusi Indonesia. Profesor Dr. Benedict Anderson ( Cornell University ) dan Dr. Ruth Mc Vey ( School of Oriental and African Studies, University of London ) dalam The New York Review of Books, 1 Juni 1978, mengutip analisa CIA yang mengatakan bahwa kudeta tahun 1965 di Indonesia telah dapat memenuhi politik A.S.dengan amat baiknya dengan membalikkan “penggelinciran” Indonesia “ secara sangat berbahaya ke kiri”, menghancurkan partai komunis terbesar di Asia di luar negeri sosialis.

Sudah menjadi hukum yang lazim bahwa kebanyakan kudeta di negeri-negeri dunia ketiga yang terjadi sesudah perang dunia tidak mungkin berhasil tanpa didalangi oleh negara adi-kuasa. Dalam upaya untuk menjadikan Indonesia di bawah lingkungan pengaruh yang meng- abdi strategi sejagat imperialisme Amerika Serikat dan tempat bagi penanaman modalnya ,cakar-cakar tangan CIA sudah lama ditanamkan di Indonesia. Misalnya pada pertengahan tahun lima puluhan terjadi Peristiwa Pekanbaru di mana Amerika Serikat mengamcam hendak men- daratkan pasukannya dengan dalih menyelamatkan warga negaranya, mendrop senjata- senjata untuk membantu pemberontakan PRRI. Kemudian terjadi kasus Allan Pope pener- bang Amerika Serikat yang juga membantu pemberontakan PRRI/Permesta. Tindakan-tindakan semacam itulah kiranya yang dikatakan oleh Peter Dale Scott dalam The United States And The Overthrow of Soekarno, bahwa sejak tahun 1953 Amerika Serikat berkepentingan mem- bantu timbulnya kekacauan di daerah-daerah Indonesia[24].

Maka tidaklah mustahil ucapan Bung Karno dalam Pelengkap Nawaksara Presiden yang mengatakan bahwa adanya subversi Nekolim sebagai salah satu sebab yang menimbulkan Peristiwa 30 September. Sebelum terjadinya peristiwa itu, Indonesia menghadapi situasi hangat mengganyang “Malaysia” sebagai produk neo-kolonialisme. CIA dengan mengguna- kan situasi demikian itu berusaha memasang api provokasinya sehingga dapat melahirkan pertentangan-pertentangan terbuka di antara klas-klas dan golongan-golongan. CIA yang sudah berpengalaman dalam mengobarkan berbagai macam provokasi politik di Asia Tenggara dan di berbagai negeri dunia ketiga lainnya dengan licik telah memanfaatkan situasi hangat anti-imperialisme pada waktu itu untuk memasukkan jarum provokasinya. Pecahlah pertentangan- pertentangan terbuka di antara golongan yang pro dan anti Soekarno dan pro dan anti PKI. Provokasi berhasil karena antara lain beberapa orang pimpinan PKI telah kehilangan kewaspadaannya dan tanpa mengindahkan ketentuan- ketentuan Partai melibatkan diri dalam Gerakan 30 September.

Dalam sidang-sidang Mahmillub terungkap fakta bahwa pada hari-hari ( sesudah 2 Oktober 1965 ) orang-orang “ turun ke jalan ” melakukan aksi menentang politik Presiden Soekarno di bawah lindungan dan pimpinan Sandi Yudha yang berpakaian preman, yang patut menjadi perhatian yalah banyak uang dollar AS yang berterbangan dari tangan ke tangan yang melaku- kan aksi tersebut. Sender-sender radio swasta muncul bagaikan cendawan di musim hujan. Pada waktu itu , hal ini sudah menjadi rahasia umum.

Satu fakta lainnya lagi dapat dilihat dari apa yang dikatakan Yasir Hadibroto, dalam pelayaran kapal yang mengangkut pasukannya dari Medan menuju ke Jakarta, katanya : “ begitu dua kapal memasuki perairan bebas Selat Malaka, dua kapal perang Inggris mendekati dan menanyakan dengan lampu isyarat, kapal-kapal itu hendak kemana dan membawa apa. Saya yang kebetulan berada di anjungan langsung meminta agar kapten kapal menjawab bahwa kita adalah TNI dan sedang menuju Jakarta. Entah mengapa ia juga mengirim berita aneh -- karena Inggeris adalah musuh kita ketika itu -- agar mereka membantu keselamatan kapal-kapal angkut itu. Anehnya lagi, kapal Inggeris segera menjawab: ‘Jangan khawatir ikuti kami saja!’. Mungkin karena ‘dikawal ’ oleh dua kapal musuh itu, pelayaran dapat dilakukan lebih cepat. Ketika dari Jakarta membawa pasukan ke Belawan, pelayaran itu menggunakan waktu 4 hari 3 malam. Sedangkan kali itu kapal angkut itu sudah sampai di Teluk Jakarta sesudah berlayar 3 hari dan 2 malam, langsung sesudah itu kedua kapal perang yang mengawal secara aneh itu mengundurkan diri sambil memberi isyarat lampu: “Selamat jalan, selamat bertugas menumpas komunis ...... ”[25]. Dari fakta di atas dapat dengan jelas dilihat bahwa apa yang dikatakan Yasir Hadibroto “ aneh ” itu sesungguhnya bukannya hal yang aneh, adalah sesuatu yang logis, karena semua itu telah diatur oleh kaum imperialis dan CIA.

Adalah kenyataan bahwa pada tahun 1965 sebelum Peristiwa 30 September, Soeharto sebagai panglima Kostrad pernah mengirim Ali Murtopo seorang perwira tinggi dari Badan Intelejen Kostrad, melakukan misi rahasia ke Kualalumpur . Seorang Jesuit Belanda , Bapak Beek, yang diketahui punya hubungan dekat dengan Ali Murtopo ( pada waktu seorang intelejen di Kostrad ), mengatakan kepada seorang teman beberapa bulan sebelum terjadinya peristiwa itu bahwa ia merasa sangat menyesal meninggalkan Indonesia untuk sementara waktu karena alasan kesehatan, karena dia merasa pasti bahwa tidak lama lagi bakal terjadi repetisi Peristiwa Madiun ( 1948 ) dalam skala yang jauh lebih besar, yang akan menga-kibatkan kekalahan definitif PKI. JCA ( Journal of Contemporery Asia ) vol.9, No.2, 1979 memuat surat Mr. Neiville Maxwell dari Institute of Commonwealth Studies, Oxford University, untuk Redaksi New York Review of Books yang mengatakan bahwa ketika ia melakukan riset di Pakistan mengenai latar belakang diplomatik konflik Indo-Pakistan 1965 menemukan surat dalam kertas-kertas di Kementerian Luar Negeri dari duta besar Pakistan di Perancis (Tuan J.A. Rahim) kepada Tuan Ali Bhutto, Menteri Luar Negeri waktu itu, yang melaporkan tentang percakapannya dengan pejabat intelejen Belanda pada NATO (North Atlantic Treaty Organization ). Pejabat itu mengatakan kepada diplomat Pakistan tadi bahwa Indonesia “ akan segera jatuh ke dalam pangkuan Barat seperti buah apel busuk ”. Ia juga mengatakan bahwa dinas-dinas rahasia Barat akan mengadakan suatu “ kup komunis yang prematur ........ yang pasti bakal gagal, yang memberikan kesempatan yang sah dan disambut baik oleh tentara untuk menumpas orang-orang komunis dan menjadikan Soekarno tawanan itikad baik ”. Laporan duta besar itu tertanggal Desember 1964.

Salah seorang saksi dalam perkara Letkol. Untung, pada tahun 1966 mengatakan bahwa salah satu sumber informasi mengenai adanya Dewan Jenderal dia peroleh dari Kol. Supardjo, salah seorang perwira intelejen AD sejak awal tahun-tahun lima puluhan, pembantu dekat Brigjen Sukendro dan bekas pembantu Kol. Zulkifli Lubis yang mengadakan percobaan kudeta terhadap Presiden Soekarno pada tahun 1956. Pada tahun 1965, Kol. Supardjo menjadi sekretaris dari Jenderal A.Yani dalam KOTRAR ( Komando Operasi Tertinggi Retuling Aparatur Revolusi) dan memainkan peranan dalam menyelenggarakan kursus indoktrinasi para perwira. Ia sering ditugaskan kontak-kontak dengan neger-negeri dan kedutaan asing.

Terbunuhnya sejumlah jenderal-jenderal senior dalam Peristiwa 30 September bukanlah merupakan alasan ketidak-terlibatnya CIA dalam peristiwa tersebut. Imperialisme AS dan CIA tidak segan-segan mengorbankan sejumlah “ sahabat ”nya, demi memperkuat posisinya di Indonesia. Fakta-fakta dengan sangat jelas menunjukkan bagaimana imperialisme AS dengan sepenuhnya menyokong kup merangkak Soeharto yang mencapai hasil, yang menguntungkan bagi strategi global imperialisme AS dan para pendukungnya. CIA tidak pernah menunggu datangnya kemujuran secara pasif untuk memenuhi tujuan-tujuan yang menguntungkan imperialisme AS, meskipun untuk itu harus mengobarkan teror anti-komunis, anti rakyat dan anti demokrasi yang luar biasa kejamnya.

Adalah suatu kenaifan jikamemandang kup merangkak Soeharto terlepas dari peranan impe- rialisme AS dan CIA nya. Di mana terjadi kup pro Barat, di situ pasti dapat dicari peranan imperialisme AS dan CIA. Tampaknya hal itu telah menjadi hukum obyektif di abad ke duapuluh ini.

VI. GERAKAN 30 SEPTEMBER -- GERAKAN INTERN A.D. YANG DIJADIKAN PIJAKAN OLEH SOEHARTO MEREBUT KEKUASAAN. 

Seperti dikemukakan dalam Bagian I tulisan ini, bahwa sebelum Peristiwa 30 September 1965 pengaruh PKI makin membesar dan makin meluas di dalam masyarakat, wakil PKI telah duduk di berbagai lembaga pemerintahan. Persahabatan dan kerja sama PKI dengan Presiden Soekarno makin erat.

Dengan posisi-posisi yang dicapai PKI itu apakah masuk di akal, bahwa PKI membuat “loncatan dalam kegelapan” seperti dalam Peristiwa 30 September atau cara-cara lain semacam itu, yang tidak dapat dipastikan hasilnya bagi rakyat Indonesia maupun bagi PKI sendiri?. Dan dari uraian di depan jelas sekali siapa yang melakukan kup terhadap pemerintahan Presiden Soekarno, tidak lain adalah Jenderal Soeharto sendiri.

Untuk mencapai tujuan memenangkan revolusi Indonesia, untuk membebaskan rakyat Indonesia dari penghisapan imperialisme dan feodalisme, PKI selalu mendasarkan tindakan-tindakan-nya pada Program PKI yang disetujui oleh seluruh Partai dan disahkan oleh Kongres Nasional Partai. Rakyat Indonesia yang luas menghasratkan Indonesia yang bebas dari imperialisme dan feodalisme. PKI menyokong pelaksanaan politik-politik yang maju dari Presiden Soekarno, karena dengan pelaksanannya, PKI dapat lebih mudah merealisasi programnya sendiri.

Di masa pemerintahan Presiden Soekarno, musuh-musuh dalam negeri dari rakyat Indonesia selalu berdaya upaya mempertentangkan PKI dengan Presiden Soekarno. Kadang-kadang dengan alasan palsu “membela Presiden dan Pemimpin Besar Revolusi ” Bung Karno, mereka menentang kritik-kritik PKI terhadap kekurangan-kekurangan bahkan kesalahan- kesalahan pemerintahan Presiden Soekarno, yang memang perlu dikritik, tetapi justru dengan maksud supaya pemerintahan Soekarno semakin lemah, sebagai persiapan untuk menghancurkan baik PKI maupun Presiden Soekarno dengan berkoordinasi erat dengan musuh-musuh rakyat Indonesia di dalam dan di luar negeri yang dalam hubungan Peristiwa 30 September selain mengkam- binghitamkan PKI juga berusaha sekuat mungkin melemparkan fitnah dan tuduhan selain kepada PKI dan golongan nasionalis kiri, juga kepada negara-negara yang bersahbat dengan rakyat Indonesia, sesuatu yang samasekali tidak beralasan.

Cara-cara kudeta adalah sangat asing bagi PKI, karena bertentangan dengan Marxisme-Lenin- me yang menjadi ideologi pembimbing PKI. Lenin pernah mengatakan: “ Orang bisa berbicara tentang ‘ putsch ’ menurut arti katanya yang ilmiah, hanya apabila percobaan untuk melaku- kan pemberontakan tak lain hanya merupakan suatu kelompok konspirator atau orang gila yang bodoh, dan samasekali tidak membangkitan simpati di kalangan massa ”.[26]. Dari kutipan di atas jelaslah bahwa cara-cara kup dalam teori Marxisme adalah asing. Mungkin saja suatu kup dapat mengganti tokoh-tokoh penguasa tertentu dengan tokoh-tokoh lain, tetapi sistim masyarakat tak dapat diubah dengan cara kup. Sistim masyarakat hanya dapat diubah dengan revolusi dari masyarakat yang luas di bawah pimpinan yang tepat secara politik dan organisasi. Mengharapkan perubahan radikal dengan melancarkan kup adalah seperti pungguk merindukan bulan. 

Komando gerakan 30 September dalam Dekrit No.1 nya memang telah mengumumkan Dewan Revolusi beserta tugas dan wewenangnya di samping titik tolak dari Gerakan 30 September melakukan pembersihan terhadap anggota-anggota apa yang dinamakan Dewan Jenderal.

Gerakan 30 September timbul sebagai akibat dari kontradiksi-kontradiksi tajam di dalam tubuh Angkatan Darat sendiri. Sebagian Jenderal anti komunis dan anti Presioden Soekarno telah mempergunakannya untuk menumbangkan pemerintah Presiden Soekarno dan menghancurkan seluruh gerakan revolusioner rakyat Indonesia.

Untuk mencapai tujuan yang keji itu dan menutupi komplotan mereka yang sesungguhnya, pihak penguasa Orde Baru melakukan tuduhan absurd terhadap Presiden Soekarno di mana dinyatakan “ bahwa Presiden : 
a). setelah mengetahui Peristiwa G-30-S/PKI dan para pelakunya dengan sengaja telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan rencana kejahatan G-30-S/PKI; 
b). ikut serta dalam mempersiapkan dan mempermudah melancarkan G-30-S/PKI;
c). bahkan lebih pula dari pada itu, yaitu, mengatur, memimpin, mendalangi pelaksanaan G-30-S/PKI ”.[27]. 
Dari tuduhan ini timbul pertanyaan, mungkinkah menurut logika akal sehat seorang kepala eksekutif menggulingkan dirinya sendiri?.

Dari langkah-langkah yang telah diambil oleh Gerakan 30 September dapat dilihat bahwa Gerakan 30 September adalah gerakan militer semata-mata yang terlepas dan terpisah serta tidak berlandaskan atas kebangkitan dan kesedaran politik yang cukup dari massa rakyat yang luas. Oleh karena itu adalah salah bahwa beberapa pimpinan PKI dengan mudah saja telah melibatkan diri dalam gerakan itu.

Umum mengetahui bahwa setiap aksi yang dilancarkan PKI, misalnya dalam mengorganisasi massa untuk pemogokan, demonstrasi atau rapat-rapat umum, tidak pernah tanpa persiapan organisasi secukupnya. Ketika terjadi Peristiwa 30 September, seluruh Partai maupun massa rakyat pendukung PKI yang luas dalam keadaan pasif, tidak ada gerakan yang berencana yang menunjukkan keterlibatan PKI secara organisasi dalam peristiwa tersebut, tidak ada seruan CC PKI untuk memobilisasi massa.

PKI yang menjelang terjadinya Peristiwa 30 September, sudah berusia 45 tahun lebih, tahu benar, dari pengalaman perjuangan rakyat Indonesia sendiri maupun dari perjuangan rakyat revolusioner berbagai negeri, bahwa baik “putsch” atau kup maupun gerakan militer semata-mata yang terpisah dan terisolasi dari massa pasti tidak akan mendapatkan simpati dan sokong- an massa, tidak mungkin melahirkan kekuasaan rakyat, dan bahwa dengan cara itu tidak mungkin dapat melenyapkan sistem penghisapan imperialis dan feodal dari bumi Indonesia dan tidak mungkin membangun sistem masyarakat adil makmur.

Suatu revolusi akan mencapai kemenangan, jika secara obyektif situasi telah berkembang ke taraf krisis revolusioner, suatu keadaan di mana semua kekuatan yang bermusuhan dengan rak- yat Indonesia sudah dalam keadaan kacau-balau dan lemah disebabkan oleh pertentangan di kalangan mereka sendiri, sudah cukup terbelejeti di hadapan massa rakyat sehingga kekuatan tengah yang bimbang memihak kekuatan revolusioner yang berjuang dengan konsekwen, dan massa rakyat pekerja yang sedar sudah sedemikian rupa bangkit semangat revolusionernya untuk menyokong aksi-aksi revolusioner yang paling tegas. Tanpa syarat-syarat yang demikian itu, pemberontakan revolusioner tidak mungkin dan pasti akan menemui kegagalan. Apakah mungkin PKI menyerahkan penyelesaian Gerakan 30 September kepada seseorang yang hendak digulingkan?. 

Dari segi yang dikemukakan di depan tidaklah mungkin PKI merencanakan atau melibatkan diri dalam suatu kup apa pun juga, dan juga tidak dalam kaitannya dengan Peristiwa 30 Sepetember 1965.

Dalam sidang-sidang Mahmillub, para penguasa Orde Baru selalu mengkaitkan Peristiwa 30 Sepetember dengan kegiatan PKI pada hari-hari menjelang meletusnya peristiwa itu,khususnya yang banyak diperbincangkan adalah mengenai briefing Ketua CC PKI D.N .Aidit pada tanggal 28 Agustus 1965.

Pertemuan yang bersifat penyampaian informasi atau briefing oleh pimpinan-pimpinan PKI kepada petugas-petugas Partai baik itu di tingkat nasional maupun di tingkat daerah adalah sesuatu yang lazim dilakukan di dalam PKI. Briefing 28 Agus-tus 1965 antara Ketua CC PKI dengan anggota-anggota CC yang berada di Jakarta adalah pertemuan yang demikian itu.

Pertemuan itu sama sekali bukan forum pengganti sidang Politbiro diperluas dan bukan pula penganti Sidang Pleno CC. Briefing itu bukan merupakan suatu badan pimpinan dan tidak mungkin memiliki status badan pimpinan. Dalam konstitusi PKI baik konstitusi yang disyahkan oleh Kongres ke- VII maupun kongres-kongres sebelumnya tidak adan satu pasal pun yang menyebut tentang adanya badan pimpinan central yang semacam briefing.

Dalam briefing itu tidak ada dilakukan diskusi, tidak ada pernyataan pendapat pro atau kontra terhadap apa yang disampaikan oleh Ketua CC PKI itu, dan tentu pula tidak ada kesimpulan dan keputusan yang diambil dalam forum itu baik secara tertulis maupun lisan. Briefing itu dilakukan dengan maksud agar para anggota CC yang berada di Jakarta dapat dengan cepat mengetahui tentang situasi aktual pada waktu itu.

Dalam PKI berlaku metode memimpin yaitu perpaduan antara pimpinan kolektif dengan pertanggungjawaban perseorangan yang dalam pelaksanaannya tidak boleh mementingkan yang satu dengan mengabaikan yang lain. Dalam metode memimpin ini, tidak bisa prinsip pimpinan kolektif menjadi dasar untuk membagi rata tanggungjawab pada setiap anggota kolektif, dan tidak bisa pula dijadikan dasar untuk menetapkan bahwa apa yang dilakukan oleh pemimpin kolektif menjadi tanggung jawab seluruh kolektif. Perlu ditekankan di sini ialah yang harus menjadi tanggungjawab kolektif ialah segala keputusan yang diambil secara kolektif. Oleh karena itulah dalam mengambil semua keputusan perlu dikembangkan sepenuhnya demokrasi intern Partai. Tetapi setelah keputusan diambil, setiap anggota kolektif harus melaksanakannya tanpa syarat.

Setelah briefing tanggal 28 Agustus 1965 sampai meletusnya Persitiwa 30 September tidak pernah ada sidang Politbiro lagi, maka prinsip pimpinan kolektif tidak dapat dijadikan dasar untuk memikulkan tanggungjawab yang sama kepada setiap anggota Politbiro, apalagi kepada setiap anggota CC. Oleh karena itu, keterlibatan sementara pimpinan utama PKI dalam Peristiwa 30 September tidak dapat diidentikkan atau ditarik menjadi tanggung jawab Politbiro atau CC, lebih-lebih lagi kepada PKI secara keseluruhan. Dan hal ini dapat pula dilihat dalam kenyataannya bahwa setelah meletusnya Peristiwa 30 September, PKI pasif tidak berlawan dan ditambah pula bahwa yang ikut Gerakan 30 September adalah perwira-perwira maju, bukan orang-orang komunis. 


VII. PKI ADALAH PEMBELA SETIA DAN TERPERCAYA
DARI RAKYAT INDONESIA . 


Dari sejarah perjuangannya selama enam puluh lima tahun adalah satu kenyataan yang tak terbantahkan bahwa perjuangan PKI dengan segala sukses dan kegagalannya demi berusaha membela kepentingan rakyat Indonesia, untuk keadilan sosial dan kebebasan penuh. Oleh karena itu, dalam situasi politik yang bagaimanapun sulit dan kompleksnya PKI selalu dan selamanya berada di pihak rakyat Indonesia yang terhisap dan tertindas, dengan sepenuhnya hati dan teguh membela kepentingan rakyat Indonesia.


Dari uraian di bagian depan tulisan ini jelas sekali bahwa Statemen Politbiro CC PKI tertang- gal 1 Oktober 1965, yang menyatakan bahwa PKI tidak tahu menahu tentang Peristiwa 30 September dan peristiwa tersebut adalah masalah intern Angkatan darat, sepenuhnya sesuai dengan kenyataan.

Tetapi, sayapun tidak boleh menutup mata bahwa dalam keadaan poltik yang begitu rumit, sulit dan gawat, sementara pimpian utama PKI mendukung secara politik tindakan yang diambil oleh kekuatan-kekuatan maju dalam A.D. yang mempunyai arah politik yang tepat yaitu membela Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara RI yang syah, terhadap bahaya kup Dewan Jenderal.

Setelah meletusnya Peristiwa 30 September, sementara pimpinan utama PKI telah menganjur- kan supaya “Menyrahkan penyelesaian politik kepada Presiden Soekarno”. Hal itu merupakan satu bukti nyata yang tak terbantahkan bahwa PKI sama sekali tidak ada maksud untuk menggulingkan atau meng-kup pemerintahan Presiden Soekarno.

Terbunuhnya 6 orang jenderal kanan AD pada tanggal 30 September 1965 malam, dan ditam- bah dengan kesalahan sementara pimpinan utama PKI merupakan “ peluang yang baik ” dan “ cocok sekali ” bagi Dewan Jenderal untuk membangkitkan gelombang anti komunis, menfitnah, menjelek-jelekkan dan mengkambing-hitamkan PKI. dengan menggunakan mass media yang dikuasainya. Presiden Soekarno pernah bereaksi terhadap berita-berita yang tidak benar itu, dalam suatu kesempatan beliau berkata kepada Kapolri (Kepala Kepolisian Republik Indonesia --- pada waktu dijabat oleh Majen.Pol. Sutjipto SH --- ) dengan nada marah: “ Tjip, kekejaman-kekejaman PKI yang termuat dalam surat-surat kabar itu semuanya tidak benar ”.[28]. Masalah terbunuhnya enam orang jenderal juga digunakan untuk mengelabui massa, khususnya mahasiswa yang tidak puas akan situasi ekonomi Indonsia yang jelek pada waktu itu, ikut berdemonstrasi mengganyang PKI dan Presiden Soekarno. 


Dewasa ini banyak dari mereka yang dulu pernah ikut berdemonstrasi mendukung Soeharto dan mengganyang PKI dan Presiden Soekarno mulai sedar bahwa mereka sebenarnya telah ditipu. Seorang tokoh mahasiswa telah mengungkapkan:“ Di saat penumpasan PKI mahasiswa dikatakan sebagai ‘partner’ ABRI, tetapi dalam waktu yang tidak terlalu lama akhirnya mereka sedar dan melihat, bahwa peranan mereka sebenarnya tidak lebih dari perpanjangan tangan militer semata-mata. Mahasiswa hanya dipakai untuk menciptakan kekacauan.Dan karena adanya kekacauan politik, maka suasana kekacauan itu sendiri harus diatasi. Dan karena itu pula, muncullah apa yang disebut Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, dan lain-lain ”[29].


Dengan dalih “ memulihkan dan menertibkan keamanan ” dan di bawah situasi sentimen anti komunis yang mencapai puncaknya, Soeharto dan kliknya melakukan penangkapan dan penahanan, melancarkan teror berdarah yang teramat kejam terhadap siapa saja yang mereka anggap “ terlibat ” dalam Peristiwa 30 September.

Teror putih yang dilancarkan oleh Soeharto baik kekejaman maupun jumlah yang dibunuh tidak kalah dengan teror dan kekejaman yang dilakukan oleh fasisme Hitler. Teror putih ini menurut “ The London Times ” telah merenggut jiwa “ lebih dari satu juta ” . Yang menjadi korban dalam teror ini bukan hanya anggota PKI dan simpatisannya, tetapi juga kaum nasionalis kiri dan patriot lainnya yang konsekwen pada jaran Bung Karno.

Pihak penguasa Orde Baru selalu mendengung-dengungkan bahwa teror itu adalah “ ekses kemarahan rakyat terhadap PKI ”. Tetapi saya berpendapat, ini adalah dalih untuk mengingkari tanggung jawab mereka terhadap pembunuhan massal itu. Bukankah fakta menunjukkan bahwa teror itu didahului oleh suatu kampanye dengan cara yang amat keji menghasut dan membangkitkan sentimen anti komunis ?. Teror itu bukan ekses dari suatu kemarahan massa dapat dilihat bahwa dalam teror itu terdapat tindakan yang terarah dan menjangkau jauh. Pembunuhan kejam terhadap kader PKI mulai tingkat basis sampai tingkat central adalah dengan tujuan mematahkan dan menghancurkan tulang punggung PKI sehingga PKI tidak bisa bangkit kembali atau jika ada kemungkinan bangkit kembali akan memakan waktu panjang. Teror ini dilakukan oleh anggota militer yang berbaju hijau yang melakukan operasi, atau dilakukan atas nama pejabat militer. Di samping itu teror juga dilakukan terhadap orang-orang yang berada di dalam tahanan. Mungkinkah pembunuhan yang dilakukan terhadap orang-orang dalam tahanan itu tanpa sepengetahuan atau tanpa izin pemerintah?. Mengapa penguasa tidak mengambil tin- dakan terhadap pelaku-pelaku pembunuhan itu?.


Mengenai kekjaman dari teror ini jika dibeberkan satu per satu akan membuat bulu kuduk ber- diri. Presiden Soekarno dalam satu kesempatan pernah menyingkap kekejaman itu, kata beliau : “ ....... Jenazah-jenazah dari Pemuda Rakyat; BTI, orang-orang PKI atau simpatisan PKI yang disembelih, dibunuh kemudian dibiarkan saja dipinggir jalan di bawah pohon, dihanyutkan dan tidak ada yang mengurusnya ”[30].


Pembunuhan kejam tanpa melalui proses pengadilan adalah suatu ciri rezim militer Soeharto. Hal ini tidak hanya dapat dilihat pada awal rezim ini seperti dikemukakan di atas, tetapi pada masa akhir-akhir ini umum mengenal apa yang dinamakan “ petrus ” ( penembakan misterius ) yang dilakukan dan direncanakan oleh penguasa. Teror ini masih diteruskan. Tersiar berita bahwa akan dilaksanakan hukuman mati terhadap tokoh-tokoh PKI, sekalipun mereka sudah meringkuk belasan tahun di dalam penjara. 


Dalam kaitan dengan teror berdarah Soeharto, perlu di sini dikemukakan apa yang dilakukan oleh Yasir Hadibroto yang secara terang-terangan mengakui telah membunuh Ketua CC PKI Kawan D.N. Aidit yang dimuat dalam “ Sinar Harapan ” 2 Oktober 1983. Dalam pengakuannya itu tercermin dua masalah: pertama, kekejaman rezim fasis Soeharto, yaitu membunuh orang di pinggir jalan lalu ditinggalkan begitu saja. Dan kedua, mereka merasa takut kalau D.N .Aidit dibawa ke pengadilan, karena hal ini akan dapat berakibat fatal, yaitu segala kepal- suan dan kebohongan mereka kan dapat terbuka dan tersingkap di depan khalayak ramai rakyat Indonesia. Oleh karena itu mereka mengambil langkah melakukan pembunuhan tanpa proses hukum. Hal ini dapat dilihat dari kata-kata Yasir Hadibroto: “ Sembur baelah! ”. Ini dilaku kan ‘ dari pada memperpanjang masalah ’ , katanya 18 tahun kemudian. “ Setelah ‘disembur’, ya kita tinggalkan begitu saja ” . Demikian pula nasib yang menimpa dan dialami oleh Kawan-Kawan M.H. Lukman, Nyoto dan Ir. Sakirman.


Dalam teror putih yang teramat kejam dalam sejarah Indonesia modern ini ratusan ribu komunis dan patriot lainnya telah gugur dengan mulia demi Indonesia yang bebas dan demokratis. Adalah wajar kiranya bagi yang masih hidup menundukkan kepala menghormati mereka dan bertekad terus berusaha mewujudkan cita-cita mereka yang belum tercapai.


Telah dua puluh tahun lamanya Peristiwa 30 September terjadi di Indonesia, tetapi banyak masalah di sekitar peristiwa itu belum terungkap di hadapan khalayak ramai. Dalam kaitan ini ada baiknya disimak dengan cermat pendapat berikut ini : “ Di akhir bulan September, 19 tahun yang lalu, terjadi apa yang disebut ‘ G30S-PKI ’ di mana beberapa perwira tinggi A.D. terbunuh disusul kemudian oleh sekitar 600.000 ( enam ratus ribu ) rakyat jelata. Di mana berbagai pihak akan menanggalkan kerahasiaan catatan mereka tentang tragedi itu para sejarahwan tentunya siap-siap untuk mengungkapkan hal-ikhwal tragedi itu dengan lebih cermat dan lebih dan lebih lengkap ”.[31]. ( garis bawah dari pen. )


“ Gerakan 30 September ” dan peristiwa-peristiwa yang terjadi sejak 1 Oktober 1965 yang telah menimbulkan tragedi terbesar dalam sejarah modern Indonesia sudah menjadi obyek studi para sarjana terkemuka di berbagai negeri dunia. Kebanyakan dari mereka berusaha dengan serius menelaah dan menganalisa fakta-fakta obyektif sekitar kejadian-kejadian itu, agar menge- tahui duduk soal yang sebenarnya dari peristiwa-peristiwa itu. Pendekatan ilmiah dan obyektif ini menyebabkan mereka tidak dapat menerima versi yang disebarluaskan dengan paksa oleh rezim militer Indonesia, seakan-akan Peristiwa 30 September 1965 merupakan usaha kup PKI. Kesangsian itu antara lain dinyatakan dengan tegas oleh Benedict Anderson dan Ruth Mc Vey[32]. Bernhard Dahm, seorang ahli sejarah Jerman, menulis bahwa tidak tampak ada perencanaan dan kepemimpinan yang dapat dianggap dari suatu pimpinan pusat Partai Komunis dalam peristiwa yang terjadi akhir bulan September 1965 di Indonesia itu.[33]

Prof. W.F. Wertheim adalah orang pertama yang mengungkap kemungkinan keterlibatan Soeharto dalam “ Gerakan 30 September ” itu, seperti yang dikemukakan dalam tulisannya “ Soeharto and the Untung Coup: The Missing Link [34] mengenai pertemuan Soeharto dan Kol. Latief di rumah sakit militer menjelang oprasi “Gerakan 30 September”. Pengadilan Kol. Latief pada tahun 1978 telah membuktikan kebenaran dugaan Wertheim yang kemudian menguraikan pendangannya lebih terperinci dalam tulisan “ Whose Plot? ”[35]. Brian May, selain mengangkat pula pertemuan ‘misterius’ Soeharto dan Kol. Latief yang dikemukakan oleh Wertheim, lebih lanjut dengan jelas dan berdasarkan fakta menguraikan tipudaya dan muslihat Soeharto sampai berhasil menyingkirkan Nasution dan merampas kekuasaan dari Presiden Soekarno.[36]

Karya-karya studi obyektif para sarjana tersebut telah berperanan besar untuk membuka wajah sebenarnya dari rezim Soeharto di Indonesia yang ditegakkan di atas bayonet dengan banjir darah dan air mata. Tetapi kekuasaan demikian bukan kekal dan takkan mungkin menutup kebenaran untuk selama-lamanya.


Dengan telah bangkitnya kesedaran untuk “ menanggalkan kerahasiaan catatan ” , segala pemutarbalikan dan fitnah akan tersingkap, kebenaran dan keadilan akan pasti dapat ditegakkan.
Powered By Blogger