Tuesday, December 20, 2016

Apakah Kehendak Allah Itu dan Bagaimana Kita Mengetahuinya?

Apakah Kehendak Allah Itu dan Bagaimana Kita Mengetahuinya?


(1) Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. (2) Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.
Tujuan Roma 12:1-2 adalah agar seluruh kehidupan menjadi “ibadah yang sejati.” Ayat 1: “Persembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.” Tujuan dari seluruh hidup manusia di mata Allah adalah agar Kristus terlihat berharga sebagaimana Ia adanya. Ibadah berarti menggunakan pikiran, hati dan tubuh kita untuk mengekspresikan keberhargaan Allah dan seluruh keberadaan-Nya bagi kita dalam Yesus. Ada suatu cara untuk hidup – suatu cara untuk mengasihi – yang mengekspresikan itu. Ada suatu cara untuk melakukan pekerjaan Anda yang mengekspresikan keberhargaan Allah yang sesungguhnya. Jika Anda tidak dapat menemukannya, itu mungkin berarti Anda harus ganti pekerjaan. Atau itu dapat berarti bahwa ayat 2 tidak terjadi pada tingkat yang seharusnya.
Ayat 2 merupakan jawaban Paulus terhadap bagaimana kita mengubah seluruh hidup menjadi ibadah. Kita harus berubah. Kita harus berubah. Bukan hanya perilaku eksternal kita, tetapi cara kita merasa dan berpikir – pikiran kita. Ayat 2: “Berubahlah oleh pembaharuan budimu.”

MENJADI DIRI ANDA SEPERTI APA ADANYA

Orang-orang yang percaya pada Kristus Yesus merupakan ciptaan baru di dalam Kristus yang sudah dibeli dengan darah-Nya. “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru” (2 Korintus 5:17). Tetapi sekarang kita harus menjadi apa adanya kita. “Buanglah ragi yang lama itu, supaya kamu menjadi adonan yang baru, sebab kamu memang tidak beragi” (1 Korintus 5:7).
“Kamu telah mengenakan manusia baru yang terus-menerus diperbaharuiuntuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya” (Kolose 3:10). Anda sudah di*jadikan baru dalam Kristus; dan sekarang Anda *sedang dibarui dari sehari ke sehari. Itulah fokus kita pada minggu lalu.
Sekarang kita berfokus pada bagian terakhir dari ayat 2, yaitu, tujuan dari pembaruan budi: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, [berikut inilah tujuannya] sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Jadi, fokus kita hari ini ada pada arti kata “kehendak Allah,” dan bagaimana kita membedakannya.

DUA KEHENDAK ALLAH

Ada dua arti yang jelas dan sangat berbeda untuk kata “kehendak Allah” dalam Alkitab. Kita perlu mengetahui keduanya dan memutuskan arti yang mana sedang digunakan di sini di Roma 12:2. Sesungguhnya, mengetahui perbedaan di antara kedua arti “kehendak Allah” ini sangatlah penting untuk memahami salah satu hal yang terbesar dan paling membingungkan di seluruh Alkitab, yaitu, bahwa Allah itu berdaulat atas segala sesuatu namun tidak menyetujui banyak hal. Yang berarti bahwa Allah tidak menyetujui sebagian dari apa yang Ia tetapkan untuk terjadi. Yaitu, Ia melarang sebagian hal yang Ia timbulkan. Dan Ia memerintahkan sebagian hal yang Ia hindarkan. Atau secara paling paradoks dapat dikatakan: Allah menghendaki sebagian peristiwa dalam satu arti yang tidak Ia kehendaki dalam arti yang lain.
1. Kehendak Ketetapan Allah, atau Kehendak yang Berdaulat
Mari kita melihat perikop-perikop Kitab Suci yang membuat kita berpikir demikian. Pertama pertimbangkan perikop-perikop yang menggambarkan “kehendak Allah” sebagai penguasaan-Nya yang berdaulat atas semua yang terjadi. Salah satu perikop yang paling jelas adalah cara Yesus berbicara tentang kehendak Allah di Getsemani ketika Ia sedang berdoa. Ia berkata, di Matius 26:39, “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.” Kehendak Allah apakah yang dirujuk di ayat ini? Itu merujuk kepada rencana Allah yang berdaulat yang akan terjadi dalam jam-jam yang akan datang. Anda ingat bagaimana Kisah Para Rasul 4:27-28 mengatakan hal ini: “Sebab sesungguhnya telah berkumpul di dalam kota ini Herodes dan Pontius Pilatus beserta bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa Israel melawan Yesus, Hamba-Mu yang kudus, yang Engkau urapi, untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah Engkau tentukan dari semula oleh kuasa dan kehendak-Mu.” Jadi “kehendak Allah” adalah agar Yesus mati. Ini adalah rencana-Nya ketetapan-Nya. Tidak ada yang mengubahnya dan Yesus tunduk serta berkata, “Inilah permohonan-Ku, tetapi Engkau melakukan apa yang terbaik untuk dilakukan.” Itulah kehendak Allah yang berdaulat.
Jangan salah menanggapi poin yang sangat penting di sini yang mencakup dosa-dosa manusia. Herodes, Pilatus, para serdadu, para pemimpin Yahudi – mereka semua berdosa dalam menggenapi kehendak Allah agar Anak-Nya disalibkan (Yesaya 53:10). Jadi sangat jelas mengenai hal ini: Allah menghendaki terjadinya beberapa hal yang Ia benci.
Inilah contoh dari 1 Petrus. Di 1 Petrus 3:17 Petrus menulis, “Sebab lebih baik menderita karena berbuat baik, jika hal itu dikehendaki Allah, dari pada menderita karena berbuat jahat.” Dengan kata lain, mungkin adalah kehendak Allah bahwa orang Kristen menderita karena melakukan kebaikan. Ia memaksudkan penganiayaan. Tetapi penganiayaan terhadap orang Kristen yang tidak pantas dianiaya adalah dosa. Jadi sekali lagi, Allah kadang-kadang menghendaki peristiwa-peristiwa yang mencakup dosa itu terjadi. “Sebab lebih baik menderita karena berbuat baik, jika hal itu dikehendaki Allah.”
Paulus memberikan suatu pernyataan ringkas yang meyakinkan atas kebenaran di Efesus 1:11 ini, “Di dalam Dia [Kristus] -lah kami mendapat bagian yang dijanjikan – kami yang dari semula ditentukan untuk menerima bagian itu sesuai dengan maksud Allah, yang di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya.” Kehendak Allah adalah pemerintahan Allah yang berdaulat atas segala sesuatu yang terjadi. Ada banyak perikop yang lain dalam Alkitab yang mengajarkan bahwa providensi Allah atas alam semesta meluas hingga ke detail-detail terkecil dari alam dan keputusan-keputusan manusia. Tidak seekor burung pipit pun jatuh ke tanah tanpa sepengetahuan Bapa kita di sorga (Matius 10:29). “Undi dibuang di pangkuan, tetapi setiap keputusannya berasal dari pada TUHAN” (Amsal 16:33). “Manusia dapat menimbang-nimbang dalam hati, tetapi jawaban lidah berasal dari pada TUHAN” (Amsal 16:1). “Hati raja seperti batang air di dalam tangan TUHAN, dialirkan-Nya ke mana Ia ingini” (Amsal 21:1).
Itulah arti pertama dari kehendak Allah: itu adalah penguasaan Allah yang berdaulat atas segala sesuatu. Kita akan menyebut hal ini “kehendak-Nya yang berdaulat” atau “kehendak ketetapan”-Nya. Kehendak-Nya yang ini tidak dapat dilanggar, dan selalu terjadi. “Ia berbuat menurut kehendak-Nyaterhadap bala tentara langit dan penduduk bumi; dan tidak ada seorang pun yang dapat menolak tangan-Nya dengan berkata kepada-Nya: ‘Apa yang Kaubuat?’” (Daniel 4:35).
*2. Kehendak Perintah Allah *
Jadi arti lain untuk “kehendak Allah” dalam Alkitab adalah apa yang dapat kita sebut “kehendak perintah”-Nya. Kehendak-Nya ialah apa yang Ia perintahkan pada kita untuk dilakukan. Inilah kehendak Allah yang dapat tidak kita taati dan gagal dilakukan. Kehendak ketetapan ini kita lakukan entah kita percaya kepadanya atau tidak. [Sedangkan dalam hal] kehendak perintah kita bisa saja gagal melakukannya. Contohnya, Yesus berkata, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: ‘Tuhan, Tuhan!’ akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga” (Matius 7:21). Tidak semua orang melakukan kehendak Bapa-Nya. Demikianlah kata-Nya. “Tidak semua orang akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” Mengapa? Karena tidak semua orang melakukan kehendak Allah.
Paulus mengatakan di 1 Tesalonika 4:3, “Inilah kehendak Allah: pengudusanmu, yaitu supaya kamu menjauhi percabulan.” Di sini kita memiliki contoh yang sangat khusus tentang apa yang Allah perintahkan atas kita: kekudusan, pengudusan, kesucian seksual. Inilah kehendak perintah-Nya. Tetapi, oh, begitu banyak orang yang tidak menaatinya.
Lalu Paulus berkata di 1 Tesalonika 5:18, “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.” Di sini ada satu lagi aspek khusus dari kehendak perintah-Nya: mengucap syukurlah dalam segala hal. Tetapi banyak orang tidak melakukan kehendak Allah ini.
Satu contoh lagi: “Dunia ini sedang lenyap dengan keinginannya, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya” (1 Yohanes 2:17). Tidak semua orang tetap hidup selama-lamanya. Ada yang tetap hidup selama-lamanya. Ada yang tidak. Perbedaannya? Ada yang melakukan kehendak Allah. Ada yang tidak. Jadi, dalam arti ini kehendak Allah tidak selalu terjadi.
Jadi, saya menyimpulkan dari perikop-perikop ini dan banyak perikop Alkitab yang lain bahwa ada dua cara untuk membicarakan kehendak Allah. Keduanya benar, dan keduanya penting untuk dipahami dan dipercayai. Cara pertama dapat kita sebut kehendak ketetapan Allah (atau kehendak-Nya yang berdaulat) dan cara lain dapat kita sebut kehendak perintah Allah. Kehendak ketetapan-Nya selalu terjadi tidak peduli kita memercayainya atau tidak. Kehendak perintah-Nya mungkin kita langgar, dan merupakan hal sehari-hari.

KEBERHARGAAN DARI KEBENARAN-KEBENARAN INI

Sebelum saya mengaitkan hal ini dengan Roma 12:2, biarlah saya mengomentari tentang betapa berharganya kedua kebenaran ini. Keduanya sesuai dengan kebutuhan mendalam yang kita semua miliki ketika kita sangat terluka atau sangat mengalami kehilangan. Di satu sisi, kita perlu jaminan bahwa Allah-lah yang memegang kendali, sehingga dapat mengerjakan semua penderitaan dan kehilangan saya secara bersamaan untuk mendatangkan kebaikan bagi saya dan kebaikan bagi semua orang yang mengasihi Dia. Di lain sisi, kita perlu mengetahui bahwa Allah berempati kepada kita dan tidak bergemar dalam dosa atau penderitaan kita maupun akan dosa dan penderitaan itu sendiri. Kedua kebutuhan ini sesuai dengan kehendak ketetapan Allah dan kehendak perintah-Nya.
Contohnya, jika Anda diperlakukan dengan sangat kejam ketika masih seorang anak, dan seseorang bertanya kepada Anda, “Apakah kamu pikir itu adalah kehendak Allah?” sekarang Anda memiliki suatu cara untuk membuat suatu arti alkitabiah dari hal ini, dan memberikan sebuah jawaban yang tidak berlawanan dengan Alkitab. Anda dapat mengatakan, “Tidak itu bukan kehendak Allah; karena Ia memerintahkan agar manusia tidak kejam, tetapi mengasihi satu sama lain. Perlakuan kejam melanggar perintah-Nya sehingga menggerakkan hati-Nya dengan kemarahan dan dukacita (Markus 3:5). Tetapi, dalam arti yang lain, ya, itu adalah kehendak Allah (kehendak-Nya yang berdaulat), karena ada ratusan cara Ia dapat menghentikan itu. Tetapi karena alasan-alasan yang saya belum pahami sepenuhnya, Ia tidak menghentikannya.”
Dan sehubungan dengan kedua kehendak ini ada dua hal yang Anda perlukan dalam situasi ini: satu adalah Allah yang kuat dan cukup berdaulat untuk mengubahnya demi mendatangkan kebaikan; dan yang lain adalah Allah yang dapat berempati kepada Anda. Di satu sisi, Kristus adalah Raja Tinggi yang berdaulat, dan tidak sesuatu pun terjadi terlepas dari kehendak-Nya (Matius 28:18). Di lain sisi, Kristus adalah Imam Besar yang murah hati dan bersimpati dengan kelemahan dan penderitaan kita (Ibrani 4:15). Roh Kudus menaklukkan kita dan dosa-dosa kita, ketika Ia menghendakinya (Yohanes 1:13; Roma 9:15-16), dan mengizinkan diri-Nya untuk dipadamkan dan didukakan serta dibuat marah, ketika Ia menghendakinya (Efesus 4:30; 1 Tesalonika 5:19). Kehendak-Nya yang berdaulat tak terkalahkan, dan kehendak perintah-Nya secara menyedihkan dapat dilanggar.
Kita perlu kedua kebenaran ini – kedua pemahaman akan kehendak Allah ini – bukan hanya untuk membuat Alkitab masuk akal, tetapi untuk berpegang teguh pada Allah dalam penderitaan.

KEHENDAK YANG MANA YANG DIRUJUK DALAM ROMA 12:2?

Sekarang, yang mana dari kedua kehendak ini dimaksudkan dalam Roma 12:2, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Jawabannya sudah pasti bahwa Paulus sedang merujuk kepada kehendak perintah Allah. Saya mengatakan demikian setidaknya untuk dua alasan. Pertama, Allah tidak menghendaki kita mengetahui lebih dahulu sebagian besar kehendak-Nya yang berdaulat. “Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi TUHAN, Allah kita, tetapi hal-hal yang dinyatakan ialah bagi kita” (Ulangan 29:29). Jika Anda ingin mengetahui detail-detail kehendak ketetapan Allah untuk masa yang akan datang, berarti Anda tidak menginginkan pembaharuan budi, Anda menginginkan sebuah bola kristal [peramal]. Ini bukan disebut perubahan dan ketaatan; ini disebut ramalan.
Alasan lainnya saya mengatakan bahwa kehendak Allah di Roma 12:2 adalah kehendak perintah Allah dan bukan kehendak ketetapan-Nya adalah karena frasa “sehingga kamu dapat membedakan” mengimplikasikan bahwa kita seharusnya menyetujui kehendak Allah dan kemudian dengan taat melakukannya. Tetapi kenyataannya, kita tidak seharusnya menyetujui dosa ataupun melakukannya, meskipun itu merupakan bagian dari kehendak Allah yang berdaulat. Maksud Paulus di Roma 12:2 diparafrasakan hampir secara tepat di Ibrani 5:14, yang mengatakan, “Makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa, yang karena mempunyai pancaindera yang terlatih untuk membedakan yang baik dari pada yang jahat.” (Lihat parafrasa yang lain di Filipi 1:9-11) Itulah tujuan dari ayat ini: tidak mengorek kehendak Allah yang rahasia yang telah Ia rencanakan untuk terjadi, tetapi membedakan kehendak Allah yang dinyatakan yang harus kita lakukan.

TIGA TAHAPAN UNTUK MENGETAHUI DAN MELAKUKAN KEHENDAK ALLAH YANG DINYATAKAN

Ada tiga tahap untuk mengetahui dan melakukan kehendak Allah yang dinyatakan, yaitu, kehendak perintah-Nya; dan semuanya itu menghendaki pembaruan budi dengan pembedaannya yang diberikan oleh Roh Kudus yang telah kita bicarakan sebelumnya.
Tahap Satu
Pertama, kehendak perintah Allah dinyatakan dengan otoritas yang final dan pasti hanya di dalam Alkitab. Dan kita perlu akal budi yang sudah diperbarui untuk memahami dan menerima apa yang Allah perintahkan dalam Kitab Suci. Tanpa akal budi yang diperbarui, kita akan menyelewengkan Kitab Suci untuk menghindari perintah-perintahnya yang radikal akan penyangkalan diri, kasih, kesucian, dan kepuasan tertinggi hanya dalam Kristus saja. Kehendak perintah Allah yang berotoritas hanya ditemukan dalam Alkitab. Paulus mengatakan bahwa Kitab Suci itu diinspirasikan dan membuat orang Kristen “kompeten, diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik” (2 Timotius 3:16). Bukan hanya beberapa perbuatan baik. “Setiap perbuatan baik.” Oh, betapa energi, waktu dan pengabdian yang sungguh yang dipakai orang Kristen untuk merenungkan Firman Allah yang tertulis.
Tahap Dua
Tahap kedua dari kehendak perintah Allah adalah penerapan kita akan kebenaran Alkitab pada situasi-situasi baru yang mungkin atau tidak mungkin dibahas secara jelas dalam Alkitab. Alkitab tidak memberi tahu Anda orang yang mana harus dinikahi, atau mobil yang mana harus dikendarai, atau apakah harus memiliki sebuah rumah, ke mana Anda harus berlibur, ponsel apa yang rencananya dibeli, atau jus jeruk merk apa yang harus diminum. Atau ribuan pilihan lainnya yang harus Anda buat. Yang perlu adalah bahwa kita memiliki akal budi yang diperbarui, yang sangat dibentuk dan dikuasai oleh kehendak Allah yang dinyatakan dalam Alkitab, sehingga kita melihat dan menilai semua faktor yang bersangkut paut dengan pikiran Kristus, dan memahami apa yang Allah mau kita lakukan. Ini sangat berbeda dengan terus-menerus mencoba untuk mendengarkan suara Allah yang mengatakan lakukan ini dan lakukan itu. Orang-orang yang berusaha untuk menjalani hidup mereka dengan mendengarkan suara-suara tidaklah sinkron dengan Roma 12:2.
Ada suatu perbedaan antara berdoa dan bekerja untuk pembaruan budi yang memahami bagaimana menerapkan Firman Allah, di satu sisi, dengan kebiasaan meminta Allah untuk memberi Anda penyataan baru tentang apa yang harus dilakukan, di lain sisi. Ramalan tidak menghendaki transformasi. Tujuan Allah adalah pikiran yang baru, cara berpikir dan cara menilai yang baru, bukan hanya sekadar informasi yang baru. Tujuan-Nya adalah agar kita diubah, dikuduskan, dimerdekakan oleh kebenaran Firman-Nya yang dinyatakan (Yohanes 8:32; 17:17). Jadi, tahap kedua kehendak perintah Allah adalah memahami penerapan Kitab Suci pada situasi-situasi yang baru dalam hidup melalui akal budi yang diperbarui.
Tahap Tiga
Akhirnya, tahap ketiga dari kehendak perintah Allah merupakan mayoritas besar kehidupan di mana tidak ada refleksi yang sadar sebelum kita bertindak. Saya berani mengatakan bahwa 95% dari perilaku Anda, tidak Anda renungkan sebelumnya. Yakni, sebagian besar pikiran, sikap, dan tindakan Anda bersifat spontan. Itu semua hanya merupakan luapan dari apa yang ada di dalam hati. Yesus berkata, “Karena yang diucapkan mulut meluap dari hati. Orang yang baik mengeluarkan hal-hal yang baik dari perbendaharaannya yang baik dan orang yang jahat mengeluarkan hal-hal yang jahat dari perbendaharaannya yang jahat. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman” (Matius 12:34-36).
Mengapa saya menyebut hal ini [sebagai] bagian ini kehendak perintah Allah? Untuk satu alasan. Karena Allah memerintahkan hal-hal seperti: Jangan marah. Jangan sombong. Jangan mengingini. Jangan cemas. Jangan cemburu. Jangan iri hati. Tidak satu pun dari tindakan-tindakan itu direnungkan sebelumnya. Marah, kesombongan, keinginan, kecemasan, kecemburuan, keirihatian – semuanya itu muncul begitu saja dari hati tanpa refleksi sadar atau niatan. Dan kita bersalah karena semua itu. Semua itu melanggar perintah Allah.
Karena itu, tidakkah jelas bahwa ada satu tugas besar dari kehidupan Kristen: Berubahlah oleh pembaruan budimu. Kita perlu hati yang baru dan pikiran yang baru. Buatlah pohon itu baik, maka buahnya pun akan baik (Matius 12:33). Itulah tantangan yang besar. Untuk itulah Allah memanggil Anda. Anda tidak dapat melakukannya sendiri. Anda memerlukan Kristus yang mati bagi dosa-dosa Anda. Dan Anda memerlukan Roh Kudus untuk membawa Anda ke dalam kebenaran yang meninggikan Kristus dan mengerjakan di dalam Anda kerendahan hati yang menerima kebenaran.
Berikanlah diri Anda kepada hal ini. Benamkan diri Anda dalam Firman Allah yang tertulis; penuhi pikiran Anda dengan Firman Allah. Dan berdoalah agar Roh Kristus akan membuat Anda sungguh-sungguh baru sehingga luapan hatimu akan baik, berkenan, dan sempurna – kehendak Allah.

Melakukan Kehendak Allah

Ringkasan Khotbah : 15 Juni 2003
Melakukan Kehendak Allah
Nats: I Yoh. 2:15-17,Yoh. 4:34,6:38;Lk. 22:42;Kis. 13:22,36
Pengkhotbah : Ev. Solomon Yo

Pendahuluan
Kita akan membahas tema tentang “kehendak Allah.” Ini merupakan suatu tema yang besar dan begitu penting dalam hidup kita. John Calvin mengatakan nothing is greated than the will of God except God Himself  (Tidak ada yang lebih besar dari pada kehendak Allah selain Allah sendiri). Dalam perenungan yang singkat ini, kita akan memfokuskan pada hal melakukan kehendak Allah sebagai filsafat hidup.

I. Melakukan kehendak Allah sebagai filsafat hidup orang Kristen
Jika filsafat hidup kita salah maka makna dan tujuan hidup kita juga akan salah, akibatnya hidup kita pun akan bermasalah. Menurut pengamatan saya, filsafat hidup kebanyakan orang ialah untuk mencari kebahagiaan. Banyak orang yang hidup dengan harapan kebahagiaan yang tidak pernah mereka dapatkan. Karena kebahagiaan bukanlah sasaran yang harus kita kejar, maka orang yang mencari kebahagiaan itu terperangkap dalam kehidupan yang tidak bahagia. Seperti mengejar bayangan, makin dikejar semakin menjauh darinya. Orang Kristen seharusnya telah belajar untuk mengarahkan tujuan hidupnya pada sasaran yang lebih sejati, yaitu melakukan kehendak Allah, kebahagiaan buah dari hidup melakukan kehendak Allah (Bdk. Matius 6:33).
Bagaimanakah kebahagiaan itu diperoleh, menurut pencari kebahagiaan itu? Mereka berpikir mereka akan berbahagia jika hidup mereka nyaman, bebas dari kesulitan, dan keingginan mereka terpenuhi. Orang demikian pasti akan selalu dalam keadaan yang labil dan tidak puas, karena jika situasi hidup mereka tidak sesuai dengan yang mereka harapkan atau penuh kesulitan, berarti mereka sudah tidak dapat berbahagia? Dan jika kini mereka hidup dalam kenyamanan, apakah ada jaminan keadaan itu tidak berubah? Bukankah dunia ini penuh dengan perubahan dan ketidakpastian? Ketika perubahan tiba, mereka pasti akan menjadi tidak bahagia. Bahkan pikiran mengenai kesulitan  sudah akan membuat mereka tidak dapat merasa bahagia ketika berada di dalam kenyamaan hidup mereka. Filsafat hidup yang menjadikan kebahagiaan sebagai tujuan utama adalah salah, menipu diri sendiri, dan merusak, karena membutakan orang untuk melihat anugerah Tuhan yang berlimpah dalam setiap situasi kehidupannya.
Tuhan yang menjanjikan hidup yang berkelimpahan dan berkemenangan tidak pernah menjanjikan hidup yang tanpa masalah. Sebaliknya Ia memperingatkan kita untuk mengantisipasi datangnya kesulitan, dan penderitaan, namun menjanjikan dalam semua itu, kita dapat menjadi orang yang berkemenangan. Yesus Kristus yang disebut manusia yang penuh kesengsaraan adalah yang hidup berkemenangan dan berkelimpahan, sehingga bukan saja Ia menjadi orang yang bahagia, tetapi dapat memberikan damai sejahtera dan sukacita-Nya kepada kita. Inilah salah satu ciri yang menjadikan kekristenan Yesus Kristus bersifat ilahi dan melampaui keagamaan alamiah; kehidupan yang berkelimpahan dan penuh sukacita sejati di atas segala kesulitan paling berat yang datang menimpa.
Sungguh ironis, orang yang paling bersukacita seringkali bukanlah yang hidupnya lancar, tetapi justru mereka yang mengalami banyak penderitaan dan kesulitan, namun yang menyikapinya dengan benar, sehingga mereka muncul sebagai orang yang hidupnya paling berkelimpahan dan penuh sukacita. Kehidupan Richard Baxter menyaksikan kebenaran ini, walaupun menghadapi banyak kesulitan, penjara, kematian istri, namun ia menemukan kesukaan terbesar di dalam Allah. Rahasia rohani ini diungkapkan Rasul Paulus, ketika ia berkata, “Aku telah belajar mncukupkan diri dalam segala keadaan…. baik dalam hal kelimpahan maupun dalam hal kekurangan. Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” (Flp. 4:11-13).

II. Mengapa kita harus menjadi pelaku kehendak Allah?
1. Melakukan Kehendak Allah merupakan esensi kehidupan manusia. 
Manusia diciptakan oleh Allah, karena itu, kewajiban kita ialah melakukan kehendak Allah. Adam pertama gagal, dan kita hidup dalam kegagalan bersamanya sebagai pemberontak ke­hen­dak Allah. Yesus Kristus, Adam kedua, telah membalikkan keadaan ini. Dalam kehidupan-Nya sebagai manusia, Yesus Kristus telah menjalani seluruh kehendak Allah. Dialah satu-satunya manusia yang menjalani kehidupan-Nya dengan begitu sempurna, sehingga mengenai Dia Ba­pa berkata, “Inilah Anak-Ku yang kekasih, kepada-Nyalah Aku berkenan” (Mat. 3:16). Kesem­pur­na­an hidup-Nya itulah yang menjadi kebenaran yang diberikan kepada kita sehingga kita dapat diampuni dan diterima oleh Allah.
Kita yang telah menerima penebusan Kristus dikehendaki-Nya sebagai penurut-penurut Allah, mengikuti teladan Kristus, yang melakukan seluruh kehendak Bapa. Yesus Kristus telah memberikan paradigma baru bagi kehidupan yang benar: “not my will, but Thy will be done!” Dasar penilaian atas kehidupan kita bukanlah karena pernah hidup yang enak, jenius, ber­kua­sa, tetapi apakah kita melakukan kehendak Allah tidak. Alasan orang-orang yang merasa me­ngi­kuti dan melayani Tuhan namun akhirnya dibuang ialah karena mereka bukan pelaku ke­hen­dak Allah (Mat. 7:21). Kerinduan terbesar orang Kristen ialah supaya kehendak Allah di­ber­la­ku­kan di dalam dunia ini melalui kehidupan dan pelayanan kita, itulah sebabnya kita selalu berdoa, “jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga” (Mat. 6:10).
Setelah Saul disingkirkan, Allah mengangkat Daud; Saul menolak kehendak Allah dalam hi­dup­nya dan mendukakan hati Allah, karena itu ia ditolak oleh Allah, sebaliknya Daud “seorang yang berkenan di hati-Ku  dan yang melakukan segala kehendak-Ku” (Kis. 13:22). Tetapi tokoh ro­­hani terbesar yang haus menjadi teladan kita ialah Yesus Kristus, yang menjadikan ketaatan kepada kehendak Allah sebagai inti hidupnya dan esensi pelayanan-Nya. Menjadi orang Kristen yang tidak melakukan kehendak Allah adalah hal yang tak terbayangkan.  
2. Melakukan kehendak Allah adalah kuasa transendensi untuk mengatasi keremehan dan kefanaan menuju makna dan kekekalan
Manusia hidup dengan segala aktivitas dan kesibukannya, tapi apakah semua itu membuat kita bahagia? Kitab Pengkhotbah mengajarkan bahwa semua yang kita lakukan itu mungkin hal yg sia-sia. Mungkin banyak orang yang ingin hidup seperti Salomo: terkenal, berkuasa, kaya raya, dan berlimpah dengan kenikmatan. Keberhasilan kita mungkin membuat orang lain me­nga­gumi kita, tetapi semua itu sia-sia  jika Tuhan menolak dan menganggap kita miskin dan bo­doh, seperti orang kaya yang bodoh dalam perumpamaan Tuhan Yesus (Luk. 12:13-21). Ia di­ke­cam bukan karena ia kaya, tetapi karena hatinya bodoh dan jiwanya miskin di hadapan Allah.
Dalam perspektif Alkitab, kesuksesan manusia mungkin merupakan penghalang dan kutuk, karena membuat kita menjadi puas diri dan tenggelam dalam kenikmatan dunia dan menga­lih­­kan perhatian kita dari Tuhan dan kehendak-Nya. Seperti diungkapkan oleh Blaise Pascal, ke­bodohan manusia nampak dalam sikapnya meremehkan hal yang terpenting bagi jiwanya yg ke­kal, untuk mengejar hal-hal yang sekunder dan remeh. Itulah sebabnya pengalaman kehan­cur­an atau berada di tepi jurang kematian, telah menolong banyak orang untuk menyadari esensi hidup mereka yang sesungguhnya. Hidup di dunia hanya sementara, jadi janganlah sia-siakan hidupmu selama di dunia!
Manusia adalah makhluk yang diciptakan dengan konsep kekal (Pkh. 3:11), karena itu, wa­lau­pun hidupnya singkat, ia ingin mengatasi kesementaraan dan mengarahkan dirinya pada ke­ke­kalan.  Satu-satunya jalan supaya kita tidak ditelan oleh waktu dan kefanaan ialah me­la­kukan kehendak Allah. Waktu dan masa berlalu, dan kerajaan Mesir yang pernah begitu megah dan mulia kini hanya tinggal prasasti dan piramida, begitu juga para firaun itu kini hanya tinggal mumi yang diawetkan, tetapi Musa yang meninggalkan segala kemuliaan Mesir demi me­la­ku­kan kehendak Allah tidak dapat disapu oleh kesementaraa waktu, sebaliknya dia berdiri tegak untuk memberikan makna bagi pergerakan sejarah umat manusia di sepanjang masa. “Dunia ini sedang lenyap dengan keinginannya, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya” (1Yoh. 2:17).
Manusia tidak rela digeser oleh waktu, mereka ingin selalu diingat sehingga mereka mendirikan monumen sebagai peringatan akan dirinya, tetapi hati-hatilah kalau bukan kehendak Allah, maka monumen yang kita dirikan bukannya mendatangkan kebanggaan,  sebaliknya justru menjadi peringatan tentang dosa dan kehancuran kita.
Sejarah dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda-beda, dalam pengertian yang mendasar, benang merah sejati dari sejarah ialah kehendak Allah. Ada saatnya gereja atau kita berada di dalam posisi yang dimarginalkan, pihak yang disingkirkan, dianiaya, dibunuh, atau sebaliknya berada di posisi puncak dan terhormat, tetapi semua itu tidak artinya. Apa yang menentukan ialah apakah mereka menjaga dirinya terus berada di garis benang merah kehendak Allah, baru mereka memiliki signifikansi dalam sejarah.
Hidup akan terus berjalan dan waktu pun akan berlalu, semua talenta, harta dan kesem­pat­an yang kita miliki akan hilang atau menjadi tidak berarti. Biarlah semua yang kita kerja­kan di dunia ini kita lakukan dalam ketaatan pada kehendak Allah, baru semua itu mempu­nyai nilai kekal, memuliakan Tuhan dan menghasilkan buah. Jangan sia-siakan karunia yang telah Tuhan berikan padamu; pakailah talenta yang Tuhan berikan itu untuk melakukan ke­hendak Allah dan menjadi berkat bagi banyak orang. Seperti kata Ibu Teresa, biarlah biarlah setiap orang datang kepada kita tidak kita biarkan pergi tanpa merasakan hidupnya lebih berarti dan dikasihi Tuhan. Ingat pribahasa ini: “bukan karena berkelimpahan maka kita memberi, tetapi ketika memberi kita menjadi limpah.”

3. Melakukan kehendak Allah adalah kuasa transformasi yang mengubah kelemahan dan penderitaan menjadi kemenangan dan hidup yang berkelimpahan      
Situasi kehidupan kita ada saatnya menjadi terasa begitu berat untuk dijalani. Kesusahan, pen­cobaan, penderitan, dan kesedihan melanda hidup kita. Dalam keadaan demikian, se­bagian orang mungkin menjadi goncang dan mempertanyakan kebaikan Allah. Tetapi orang yang percaya pada providensia Allah, berusaha mencari maksud dan kehendak Allah di dalam situasi hidup mereka. Ketika mengetahui bahwa kesulitan yang ia alami itu adalah bagian dari kehendak Allah, kesulitan itu tidak lagi menjadi terlalu berat, apalagi jika melalui kesulitan itu Tuhan mengerjakan perkara yang mulia, maka mereka akan menyambutnya dengan sukacita. Penderitaan menjadi enteng, ketika Rasul Paulus mengetahui maksud baik Allah yang terkandung di dalamnya (2Kor. 4:17)
Apakah di tengah penderitaan yang kita alami kita tetap bersetia atau mulai menge­luh, bersungut-sungut dan mendukakan hati Tuhan? Tuhan tidak akan memberikan percobaan yang melampaui kekuatan kita, dan waktu kita dicobai Ia akan memberikan kepada kita jalan keluar (1Kor. 10:13),  Ia berkuasa mengubah pengalaman suram kita itu menjadi pengalaman indah bersama Tuhan. Paulus mengatakan umat Allah mengalahkan dunia, we are more than conquerors, kita lebih daripada pemenang karena kuasa transformasi yang Tuhan berikan.
Orang-orang yang percaya pada pimpinan dan anugerah Tuhan akan memanfaatkan setiap kesulitan dan malapetaka yang menimpa hidupnya itu untuk mendatangkan kebaikan mentransformasi kesulitan itu menjadi berkemenangan; kesulitan justru tidak menjadi batu sandungan tapi jadi batu loncatan. Tetapi bagaimana hal itu dapat terjadi, mereka menyelaraskan hidup mereka dengan kehendak Allah, mereka memilih untuk melakukan kehendak Allah. Walaupun Fanny Crosby mengalami kebutaan sejak bayi, ia tidak pernah mengeluh, dia bahkan menyatakan kebaikan di dalam situasinya itu, banyak hal indah yang ia alami dan hasilkan, karena ia mencari kehendak Allah di dalam situasi hidupnya. Hidupnya menjadi berkat bagi banyak orang lewat syair lagu yang digubahnya. Begitu juga dengan Joni Erikson Tada, wanita abad ke-20, yang mengalami kelumpuhan akibat kecelakaan, setelah ia dapat menerima kehendak Allah di dalam kelumpuhannya itu, kelumpuhannya itu ditransformasi menjadi berkat bagi jiwanya dan dari situlah hidupnya dapat menjadi berkat bagi jutaan orang.
Orang yang menerima kehendak Allah di dalam hidupnya akan mentransformasi semua kelemahan, kesulitan, dan penderitaan yang ia alami itu menjadi berkat, kekuatan, dan kemenangan. Kerohanian yang terbaik, karya terbaik, dihasilkan melalui pengalaman kesulitan yang ditransformasi karena menyerahkan hidup mereka kepada kehendak Allah. Setelah pergumulan rohani yang penuh kepahitan itu diubahkan, baru Asaf dapat berkata, ”Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya” (Mz. 73:26). Orang yang menyerahkan hidupnya untuk taat kepada kehendak Allah akan melihat bagaimana kelemahan kita diubah menjadi kekuatan; kesedihan kita diubah menjadi kesukaan; pengalaman pahit kita diubah menjadi pengalaman terindah bersama Tuhan.
Saya sampai pada kesimpulan: lebih baik kita menderita asal melakukan kehendak Allah daripada hidup bahagia tapi di luar kehendak Allah. Apakah kita mau bertekad melakukan kehendak Allah meski tantangan besar menghadang di depan kita? Jangan takut, Tuhan pasti akan memberikan kekuatan sehingga kita dapat melaluinya dan kita akan beroleh kemenangan dan hidup yang berlimpah  Amin.?
Powered By Blogger