Tulisan ini hendak menjelaskan bahwa adalah sangat masuk akal bahwa Yesus dilahirkan di sebuah rumah. Artikel ini akan memberikan petunjuk-petunjuk yang masuk akal disertai gambar-gambar yang mendukung pandangan ini.
Memang ada beberapa pandangan lain tentang dimana Yesus dilahirkan:
1. Pandangan popular menyatakan bahwa Yesus dilahirkan di kandang. Rahib Katolik bernama Fransiskus dari Asisi; Penafsir Alkitab Protestan, Matthew Henry (Henry, 80-81); dan penulis modern seperti George W. Knight, termasuk yang menganut pandangan bahwa Yesus dilahirkan di kandang, meskipun jelas-jelas Alkitab tidak mencatat soal kandang. Lagipula, bisa jadi kandang di zaman Yesus berbeda dari bayangan kita, yang juga hidup dalam konteks budaya berbeda (akan dijelaskan lebih lanjut dalam artikel ini).
2. Tokoh gereja Yustinus Martir yang hidup pada tahun 148 Masehi, menyebutkan bahwa Yesus dilahirkan di sebuah goa yang berfungsi sebagai kandang. Pandangan Yustinus menjadi dasar bagi Kaisar Konstantinus Agung (yang “awam” itu) untuk membangun sebuah gereja pada tahun 360 Masehi, di lokasi yang dipercayainya menjadi goa tempat kelahiran Yesus. Jerome dan Paulinus dari Nola, bahkan memberikan indikasi bahwa situs yang dipercaya sebagai goa kelahiran Yesus telah “ditandai” kira-kira pada masa Hadrian (120 Masehi). Situs itu terdapat di Gereja yang dibangun oleh Konstantinus, yang kini dikenal dengan nama “Church of Nativity” (Muncaster, 21, dan Wauran, 183). Pandangan bahwa Yesus dilahirkan di goa ini juga masuk akal, meskipun saya tidak memiliki informasi tentang apa dasar dari penunjukkan goa ini oleh jemaat Kristen abad-abad awal, termasuk Yustinus Martir. Terlepas dari pandangan tradisi seperti di atas, petunjuk-petunjuk yang akan dijelaskan dalam artikel berikut ini menuntun kita untuk melihat bahwa lahirnya Yesus di dalam sebuah rumah lebih didukung oleh konteks budaya dan peristiwa pada waktu itu.
3. Ahli Biblika Protestan seperti Ben Witheringthon III berpendapat bahwaYesus dilahirkan di “bagian belakang rumah nenek moyang mereka,di mana binatang-binatang yang paling berharga diberi makan (dan mungkin juga ditempatkan pada musim dingin)” (Witheringthon III, 138). Pandangan Witheringthon ini lebih mendekati pandangan dalam artikel ini.
Berikut ini sebuah skenario yang mungkin untuk membuat kita menjadi jelas tentang apa yang terjadi dan dimana sebuah peristiwa terjadi, di seputar kisah kelahiran Yesus.
BERLANGSUNGNYA “REUNI” KELUARGA DAUD
Pada waktu itu Kaisar Agustus mengeluarkan suatu perintah, menyuruh mendaftarkan semua orang di seluruh dunia. Inilah pendaftaran yang pertama kali diadakan sewaktu Kirenius menjadi wali negeri di Siria. Maka pergilah semua orang mendaftarkan diri, masing-masing di kotanya sendiri. Demikian juga Yusuf pergi dari kota Nazaret di Galilea ke Yudea, ke kota Daud yang bernama Betlehem, karena ia berasal dari keluarga dan keturunan Daud, supaya didaftarkan bersama-sama dengan Maria, tunangannya, yang sedang mengandung (Lukas 2:1-5).
Jadi Yusuf pun mudik; kembali ke kota asalnya (Lukas 2:4). Bukan kebetulan, bersama “mudiknya” Yusuf, Yesus “Sang Roti Hidup” kemudian dilahirkan di Betlehem, yang memiliki arti, “Rumah Roti.” Dan sangat mungkin sekali bahwa ada keluarga dan kerabat Yusuf pun tinggal di Betlehem. Berhubung perintah Kaisar ini juga diperuntukkan bagi seluruh warga yang di wilayah Romawi, maka kita pun dapat yakin bahwa kerabat dan saudara Yusuf yang tinggal di wilayah-wilayah Romawi lainnya pun tentu datang dan berkumpul di Betlehem, kota asal mereka (Lukas 2:3). Sangatlah mungkin telah berlangsung sebuah reuni keluarga dalam peristiwa ini.
TAK DIDAPATKANNYA “RUANG INAP TAMU”
“Rumah-rumah dengan satu ruang terdapat di pedesaan dan rumah-rumah dengan lebih dari satu kamar terdapat di kota” (MacGregor & Prys, 230).
A. Bentuk dan Denah Rumah Israel yang Tidak Memiliki Ruangan di Lantai Atas (Hanya Ada Sotoh)
Tentang rumah-rumah Israel dengan hanya satu ruangan dan sebuah atap terdapat catatan yang menyatakan, “Rumah rata-rata orang biasa terdiri atas satu kamar. Di zaman Alkitab, orang melewatkan waktu sebanyak mungkin di luar ruangan. Kata dalam bahasa Ibrani untuk rumah adalah bayith dan berarti tempat perlindungan. Rumah hanya berfungsi sebagai tempat untuk beristirahat setelah seharian berada di luar ruangan” (MacGregor & Prys, 228-9).
“Pada zaman Alkitab, orang-orang miskin tinggal di rumah yang sangat sederhana dan terkadang hanya memiliki satu ruangan saja. Ruangan itu bisa lebih kecil dari 3 m2. Dindingnya yang tebal biasa terbuat dari batu bata tanah liat atau batu yang kasar dan sisa reruntuhan. Hal ini untuk menjaga rumah mereka tetap sejuk saat musim panas dan terasa hangat di malam hari selama musim dingin” (Dowley & Pohle, 5).
“Rumah2 desa di Palestina. Rumah petani di Palestina pada lazimnya hanya terdiri atas satu kamar: semuanya tinggal dengan senang bersama2 di atas lantai tanah yang dipejalkan (2 Sam.12:3). Hanya tempat tinggal untuk hewan dibuat lebih rendah sedikit (b); dengan melalui kedua anak tangga batu di tengah2, orang dapat naik ke bagian yang ditinggikan (a), yakni tempat tinggal manusia. Sebelah-menyebelah anak tangga itu ada tempat makanan hewan atau palung (c), yang dikenal baik oleh lembu (d) dan keledai (e) seperti yang disebutkan dalam Yes.1:3. Di sebelah kanan ada kambing (f) yang dipiara untuk mendapat susunya (Ams. 27:27)…. Di tengah2 bagian yang ditinggikan itu ada pelat perapian (g); pada malam hari orang berbaring di atas lantai dengan kakinya terbuju ke arah pelat perapian itu…. Perempuan itu duduk menghadapi batu penggilingan yang dijalankan dengan tangan (h). Anak kecil yang dibaringkan di atas buaian itu badannya dibedung dengan kain lampin (i) (Yehez 16:4) (Deursen, 14-15). Penjelasan Deursen ini adalah keterangan dari gambar di bawah ini.
Mirip dengan gambaran di atas, Pdt. Andar Ismail menggambarkan bentuk dan denah rumah zaman itu demikian, “rumah di pedalaman Palestina pada zaman itu terdiri dari ruangan depan tempat tamu dan ruangan tengah yang serbaguna, yaitu untuk masak, makan, duduk, dan tidur. Ruangan tengah ini biasanya terbagi atas dua lantai dengan perbedaan ketinggian lantai sekitar satu meter. Pada malam hari, lantai bawah digunakan sebagai kandang ternak. Di situ ada beberapa palungan (lihat dua gambar di atas). Penduduk desa Timur Tengah pada zaman itu sama sekali tidak merasa jijik untuk tidur dalam satu ruangan dengan ternak mereka” (Ismail, 29).
Pada gambar di atas terlihat bahwa orang Israel juga menyimpan hewan peliharaannya di dalam rumah, mengingat hewan peliharaan adalah harta yang sangat berharga, seperti misalnya untuk membantu pekerjaan di ladang.
“Rumah-rumah yang memiliki satu kamar biasanya terbuat dari bata tanah liat yang dikeringkan (mirip dengan rumah bata merah di Meksiko), namun kadang-kadang rumah-rumah itu terbuat dari pasir kasar dari area setempat dan direkatkan dengan lempung. Hanya istana-istana dan rumah orang kaya saja yang terbuat dari batu pahat, seperti istana Salomo (1 Raja-raja 7:9)” (MacGregor & Prys, 229).
“Tiap rumah memiliki atap datar terbuat dari ranting-ranting dan diletakkan pada balok kayu tebal. Tanah dan tanah liat ditempelkan untuk menyatukan ranting-ranting itu. Atapnya tidak terlalu kedap air. Setelah hujan, atap tersebut harus diratakan kembali dengan penggulung yang berat. Saat musim semi, biji-bijian yang tertiup angin jatuh ke atap dan mulai tumbuh sehingga menyebabkan atap tampak hijau” (bandingkan dengan kisah dalam Markus 2:4, tentang empat orang yang menggotong seorang lumpuh, lalu membongkar atap dan menurunkan si lumpuh di dekat Yesus).
“Para keluarga memanfaatkan atap dengan baik. Untuk sampai ke atap, mereka harus naik tangga yang ada di tembok luar rumah mereka. Sering juga mereka menjemur gandung, buah, dan menyimpan gandum hasil panennya di sana. Malam hari, saat musim kemarau, mereka biasanya tidur di atas. Para laki-laki sering naik ke atap dan berdoa serta menyimpan beberapa perabotan (bandingkan dengan kebiasaan Daniel dalam Daniel 6:11 yang rutin berdoa di tingkap-tingkap terbuka di kamar atasnya). Menurut aturan, tembok yang mengelilingi atap rumah haruslah rendah dengan sandaran pada tepinya. Hal ini untuk menjaga agar orang-orang tidak jatuh” (Dowley & Pohle, 5).
Bandingkan juga dengan Amsal 21:9. “Ayat ini menggunakan humor untuk menunjukkan bahwa tidak ada rumah yang cukup besar untuk menampung dua orang yang tidak akur. Jika suami dan isteri selalu bertengkar, masing-masing bisa mengatakan kepada seorang kepada yang lain, ‘Aku lebih suka tinggal di atap daripada di rumah ini denganmu.’ Pada zaman Alkitab, orang kadang-kadang membangun pondok atau penampungan sementara di atas atap datar rumah mereka untuk berangin-angin selama musim panas. Pondok itu akan dingin dan tidak nyaman saat cuaca hujan dan selama bulan-bulan musim dingin. Namun, pertengkaran terus-menerus di bagian utama rumah akan menantang penghuninya untuk mengubah pondok di atap menjadi tempat tinggal permanen” (Knight, 143).
B. Bentuk dan Denah Rumah Israel yang Memiliki Ruangan di Lantai Atas (Memiliki Kataluma).
Ketika mereka (Maria dan Yusuf) di situ tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin, dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan (Yun.:kataluma. Saran terjemahan yang lebih akurat adalah “ruang inap tamu,” bukan rumah penginapan/losmen/hotel/motel, sebagaimana yang selama ini dipikirkan orang. Luk 2:6-7).
Pada gambar di atas, kita dapat melihat sebuah rumah yang memiliki lantai dasar dan sebuah “kataluma” (ruang inap tamu) di lantai atasnya.
Memiliki kataluma bukan hal sepele. Kita perlu mengingat bahwa, “Memberikan tumpangan secara ramah kepada orang lain adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan orang-orang Israel. Orang-orang di Timur percaya bahwa para tamu dikirim oleh Allah. Oleh sebab itu, pemberian tumpangan secara ramah kepada mereka merupakan bagian dari tugas suci.” (MacGregor & Prys, 233). Bandingkan dengan sikap Abraham ketika menyambut tamu (Kejadian 18:2-7) dan juga Lot (Kejadian 19). “Adat istiadat keramahtamahan dan penghormatan kepada para tamu sangat penting di Timur” (MacGregor & Prys, 234).
Ketika Yusuf dan Maria tiba di Betlehem, banyak kerabat mereka dan warga lainnya telah lebih dahulu tiba. Mereka telah lebih dahulu mendapatkan tempat menginap di rumah para penduduk atau kerabat yang memiliki lebih dari satu ruangan, yaitu yang memiliki “ruang inap untuk tamu” (kataluma). Begitu banyaknya orang “pulang kampung” untuk sensus saat itu, mengakibatkan Yusuf dan Maria tidak kebagian tempat di kataluma (di lantai 2) (Lukas 2:1-5). Jadi ketika datang ke Betlehem, yang Yusuf tuju adalah sebuah rumah yang memiliki kataluma, bukan penginapan semacam hotel yang membuat para penganut Teologi Kemakmuran menyimpulkan bahwa Yusuf adalah orang kaya.
Menurut Pdt. Andar Ismail, umat Kristen di Palestina, Siria, Lebanon, Mesir, Irak, dan beberapa negara Timur Tengah lain akan merasa heran mendengar cerita-cerita di gereja-gereja Barat (termasuk kita) hari ini, yang menyatakan bahwa Yusuf dan Maria tidak dapat tempat menginap di “rumah penginapan.” Lukas 2:4 telah diterjemahkan sebagai “rumah penginapan” adalah karena pengaruh Jerome yang menerjemahkan Alkitab ke dalam Bahasa Latin pada abad ke-4, dan telah menggunakan kata “diversario” yang artinya adalah “tempat menginap.” Dalam perkembangan, orang mungkin kemudian mengartikannya sebagai “rumah penginapan.” Padahal, kata Yunani yang tepat untuk rumah penginapan seharusnya adalah “pandocheion” (Lukas 10:34), sedangkan “tempat menginap” yang diceritakan dalam Lukas 2:4 menggunakan kata Yunani “kataluma,” yang lebih tepat diterjemahkan sebagai “ruang inap tamu” (Witherington III, 138, dan Ismail, 29-30). Istilah “kataluma” sebagai “ruang tamu” juga dapat dijumpai dalam Lukas 22:11 dan Markus 14:14.
Tentang rumah-rumah dengan lebih dari satu ruangan juga terdapat catatan, “Jika rumah dengan dua kamar akan dibangun, ruang-ruangnya tidak akan dibuat berdampingan. Sebaliknya dibuatlah pelataran tanpa atap di antara dua ruangan. Jika tiga atau lebih ruang akan dibangun, ruang-ruang itu dibuat mengitari pelataran yang tidak beratap, sehingga membuat pelataran itu sebagai area yang tidak dapat dilihat dari luar kecuali dari atas” (MacGregor & Prys, 230).
Catatan lain menyatakan, “Rumah pada waktu itu biasanya bertingkat dua. Ruang bawah, dekat pintu, dibuat menyatu dengan tanah. Para keluarga sering menaruh hewan-hewan, seperti keledai, domba, dan anjing penjaga di ruang ini pada malam hari. Mereka biasanya menyalakan api di ruangan bawah ini untuk menghangatkan ruangan dan memasak makanan. Kebanyakan rumah tidak punya cerobong sehingga tembok dan langit-langit menjadi hitam karena jelaga dan asap yang membuat orang batuk.” Lebih lanjut dicatat, “Ruang kedua, yaitu ruangan yang lebih tinggi, tingkat di dalam rumah merupakan balkon yang terbuat dari batu. Mereka biasanya duduk, bercengkarama dan bersantap serta tidur di ruangan ini” (Dowley & Pohle, 5).
Gambaran Dowley dan Pohle di ataslah yang nampaknya juga menjadi penggambaran yang dituliskan Muncaster berikut ini, “Pada masa Yesus, kandang seringkali berada di halaman rumah yang dikelilingi tembok”(Muncaster, 21) (Gambarannya dapat dilihat pada gambar di atas). Meskipun, Muncaster juga menuliskan bahwa terkadang yang dimaksud sebagai sebuah kandang adalah “gua di luar rumah” (Muncaster, 21), tetapi penggambaran Muncaster yang pertama memperkuat kemungkinan bahwa memang ada ruangan penyimpanan hewan di dalam rumah, yang dapat menjadi konteks untuk bayi Yesus dilahirkan.
Ada orang mempertanyakan, jika benar Yesus dilahirkan di dalam sebuah rumah, dengan dikelilingi sanak-kerabat dan saudara, alangkah teganya para sanak-kerabat dan saudara itu dengan membiarkan Maria melahirkan di lantai dasar yang juga digunakan untuk menyimpan hewan peliharaan?! Namun jika kita melihat gambar di atas, maka akan dengan mudah terlihat bagi kita, betapa sulitnya bagi seorang perempuan yang sudah tiba waktunya bersalin (Lukas 2:6. Meskipun besar kemungkinan Maria sudah tinggal di rumah itu beberapa hari) untuk naik ke kataluma di lantai dua. Jadi untuk alasan praktis, Yusuf menempatkan Maria yang sudah hamil tua itu, di lantai dasar rumah itu. Dan mengingat di ruangan itu atau di dekatnya juga terdapat tempat menyimpan hewan peliharaan, maka tidak heran jika terdapat palungan di sana.
YESUS DILETAKKAN DI PALUNGAN, YANG MEMANG TIDAK HARUS SELALU ADA DI KANDANG
Dalam Lukas 2:12 dicatat perkataan malaikat kepada para gembala di padang, “Dan inilah tandanya bagimu: Kamu akan menjumpai seorang bayi (Yun.: Brefos; Inggris: an unborn [seorang yang belum lahir]; a newborn child, baby [seorang anak/bayi yang baru lahir]) dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan”.” Lukas 2:16 lalu mencatat lagi, “Lalu mereka cepat-cepat berangkat dan menjumpai Maria dan Yusuf dan bayi (Yun.: Brefos; Inggris: an unborn [seorang yang belum lahir]; a newborn child, baby [seorang anak/bayi yang baru lahir]) itu, yang sedang berbaring di dalam palungan.”
Yesus diletakkan di dalam sebuah Palungan (Yun.: fatne; Inggris: a manger [palung, malaf]) sebagai pengganti sebuah tempat-tidur bayi. Lukas 2:7; 12; 16). “…bayi Yesus ditempatkan di dalam palungan, tempat pakan ternak. Palungan ini mungkin dipahat dari batu. Palungan batu dengan panjang sekitar sembilan puluh sentimeter, lebar empat puluh lima sentimeter, dan dalam enam puluh sentimeter telah ditemukan di reruntuhan kandang Raja Ahab di kota kuno Megido.” (Knight, 225. Knight juga berpendapat bahwa bayi Yesus dilahirkan di dalam kandang. Menurut saya, pandangannya sah saja, tetapi kandang disini lebih wajar dipahami sebagai kandang yang terletak di lantai dasar sebuah rumah, mengingat orang Israel juga menyimpan ternak mereka di dalam rumah).
Mengapa sulit untuk menyatakan bahwa Yesus lahir di kandang, dalam pengertian yang “benar-benar” kandang? Mengutip pernyataan Muncaster, “Bagi kita, ‘kandang’ adalah sejenis lumbung kayu di luar rumah” (Muncaster, 21), tetapi dalam konteks Israel, MacGregor dan Prys menjelaskan bahwa “Kandang domba adalah sebuah area berpagar [pagar terbuat dari tumpukan batu; tanpa atap], tempat domba tidur sepanjang malam untuk menjaga mereka tetap aman dari binatang liar dan pencuri. Kandang ini hanya memiliki satu pintu dan gembala tidur di dekat pintu sebagai tindakan pengamanan tambahan” (Knight: 239). “Lebih dari satu kawanan domba dapat ditempatkan dalam kandang yang sama” (MacGregor & Prys, 300).
“Kandang domba dipergunakan untuk memberi tumpangan kepada kawanan domba di waktu malam di musim panas. Suatu tembok dari timbunan batu2 lepas adalah sebenarnya tempat bernaung. Kandang ini harus memberi perlindungan terhadap ‘pencuri dan perampok’ (Yoh.10:1). Pada tembok itu ada ‘pintu kandang domba’ (a). Di depan pintu itu penjaga pintu berbaring, biasanya seorang di antara gembala itu. Pagi2 penjaga pintu membuka pintu dan ‘ia memanggil domba2nya menurut masing2 namanya’ (Yoh.10:30)” (Deursen, 42).
Cukup sulit membayangkan bahwa Yusuf dan Maria akan menidurkan anak mereka di sebuah kandang berpagar batu dan beratap langit (dengan kata lain, tanpa atap). Lebih masuk akal untuk memahami bahwa Yesus dilahirkan di dalam sebuah rumah, yang terdapat tempat penyimpanan hewan di dalamnya, dan ada palungan disitu.
BEBERAPA WAKTU SETELAH KELAHIRAN YESUS, MAJUS DATANG
Matius 2:11 mencatat, “Maka masuklah mereka [orang-orang Majus] ke dalam rumah itu dan melihat Anak (Yun.: Paidion; Inggris: an infant [bayi];Child [Anak]) itu bersama Maria, ibuNya, lalu sujud menyembah Dia. Merekapun membuka tempat harta bendanya dan mempersembahkan persembahan kepada-Nya, yaitu emas, kemenyan dan mur.” Setelah Yesus dilahirkan, dan para gembala mengunjungiNya, beberapa waktu kemudian (bisa berarti satu jam kemudian; atau satu bulan kemudian; atau satu tahun kemudian), orang-orang Majus datang dan menyembah bayi Yesus. Dan dimana mereka menemukan bayi (paidion) Yesus? Di dalam sebuah rumah.
Adalah sangat masuk akal, setelah Maria melahirkan Yesus, keluarga kecil Yusuf ini tetap tinggal di rumah, tempat Yesus dilahirkan. Sampai akhirnya, orang-orang Majus pun datang dan masuk ke dalam rumah itu.
KESIMPULAN
Demikian skenario seputar peristiwa kelahiran Yesus. Jadi, adalah sangat masuk akal bahwa Yesus dilahirkan di sebuah rumah. Sang Roti Hidup (Yesus), dilahirkan di sebuah rumah yang terletak di “Rumah Roti” (Betlehem).
Apabila ada orang hendak menyatakan bahwa Yesus dilahirkan di “kandang,” sah-sah saja, tetapi “kandang” tersebut lebih wajar jika dipahami sebagai lantai dasar sebuah rumah yang pada sudut/sisi tertentu dari ruangan itu juga difungsikan sebagai tempat penyimpanan hewan di dalam rumah. Jadi, Yesus nampaknya bukan lahir di kandang yang “betul-betul kandang” di luar rumah; yang pada zaman itu umumnya berdinding batu dan tanpa atap. Pandangan bahwa kandang itu berwujud goa, juga masuk akal, tetapi saya belum memiliki informasi tentang apa yang menjadi dasar jemaat awal, termasuk tokoh Yustinus Martir, menyatakan demikian. Lagipula, tidak ada satu ayat pun di Alkitab yang menyatakan bahwa Yesus dilahirkan di kandang, apalagi di goa yang berfungsi sebagai kandang (catatan bahwa Yesus berada di sebuah rumah pada masa bayinya justru ada, yaitu dalam Matius 2:11). Keberadaan “palungan” tidak selalu menunjuk pada sebuah kandang, bahkan sebetulnya sangat wajar jika sebuah palungan terdapat di lantai dasar rumah zaman itu.
Terlepas dari diskusi tentang dimana sebetulnya Yesus dilahirkan (yang bagi saya tetap bermanfaat sebagai wujud pertanggungjawaban saya untuk mengajar jemaat), tulisan Wauran berikut ini penting menjadi refleksi bagi kita, “Satu keyakinan dalam hatiku ialah kenyataan bahwa Yesus telah datang ke dunia ini. Tidak menjadi soal bagiku tempat di mana Ia dilahirkan! Tidak pula menjadi masalah bagiku waktu dan tanggal Ia dilahirkan. Karena bukanlah hal yang itu yang penting dalam kehidupan kita yang berhubungan dengan kelahiran Juruselamat. Yang penting bagiku adalah percaya kepadaNya dan menerima Dia sebagai Juruselamat pribadiku” (Wauran, 184).
Sumber:
Andar Ismail, Selamat Natal (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009).
Andar Ismail, Selamat Natal (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009).
A. Van Deursen, Purbakala Alkitab dalam Kata dan Gambar (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000).
Ben Witherington III, Apa yang Telah Mereka Lakukan pada Yesus?(Jakarta: Gramedia, 2007).
George W. Knight, Adat Istiadat Alkitab dan Keunikannya dalam Gambar(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014).
Jerry MacGregor dan Marie Prys, 1001 Fakta Mengejutkan Tentang Alkitab (Yogyakarta: ANDI, 2003).
Manuel H. Wauran, Dari Kairo ke Yerusalem (Bandung: Indonesia Publishing House, 2006).
Matthew Henry, Tafsiran Matthew Henry. Injil Lukas 1-12 (Surabaya: Momentum, 2009).
Ralph O. Muncaster, Apa yang Sebenarnya Terjadi pada Hari Natal(Batam Centre: Gospel Press, 2002).
Tim Dowley dan Peter Pohle, Kehidupan Zaman Alkitab (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011).