Pernikahan adalah rancangan Allah
Ide pernikahan berasal dari Allah sendiri. Kejadian 2:18 menyatakan,
TUHAN Allah berfirman: "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri
saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia."
Kalau kita perhatikan ayat ini bahwa manusia yang dimaksud disini tak
lain adalah Adam, manusia pertama. Ia diciptakan Allah seorang diri,
tanpa seorang lain yang sejodoh dengannya. Adam melewati kehidupannya
beberapa waktu lamanya bersama makhluk hidup lainnya, “...tetapi baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia” (Kejadian 2:20).
Adam tidak bisa hidup sendirian sebagai manusia yang berbeda jenis dari
makhluk-makhluk ciptaan Allah lainnya, dia kesepian dan dia membutuhkan
seorang penolong (pendamping). Melihat keadaan Adam ini Allah dengan
inisiatifNya sendiri, menciptakan seorang perempuan dari tulang rusuk
dan daging Adam, dia adalah Hawa (Kejadian 2:21-23). Allah tidak
membiarkan Adam dan Hawa hidup beberapa lama tanpa ikatan pernikahan,
tetapi Allah langsung mengikat mereka dalam pernikahan yang kudus
dengan berfirman, “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan
ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya
menjadi satu daging” (Kejadian 2:24). Demikianlah Allah
mengukuhkan Adam dan Hawa sebagai suami-isteri dalam ikatan pernikahan
kudus. Adam dan Hawa sekarang sudah hidup dalam sebuah rumah tangga
baru.
Sejak Allah telah melembagakan
pernikahan mulai dari Adam dan Hawa, maka itu akan terus berlaku di
segala zaman. Yesus kembali mengingatkan dan sekaligus meneguhkan hal
ini ketika Dia datang ke bumi (Matius 19:4-6). Manusia tidak punya hak
sedikitpun merubah rancangan Allah ini. Kalau manusia mencoba
menggunakan caranya sendiri untuk merancang pernikahan, maka itu adalah
tindakan pemberontakan terhadap Allah. Thomas B Warren mengatakan “bila
tidak menghormati dan mentaati perintah-perintah dan hukum-hukum ini
berarti telah memberontak terhadap Allah dan... akan menghasilkan
ketidak-bahagiaan dalam kehidupan sekarang dan kehidupan yang akan
datang...” (Warren, 1994:20). Dengan kata lain bahwa tindakan
pemberontakan ini adalah dosa dan ada konsekuensinya, baik dalam
kehidupan di bumi maupun di dunia kekekalan.