Wednesday, December 30, 2009

PRIA YANG DIANDALKAN OLEH TUHAN



Sudah menjadi hal yang lumrah jika manusia mengandalkan Tuhan. Tapi, “Pernahkah Tuhan mengandalkan atau membanggakan seorang manusia?” Ada. Kisahnya tercatat dalam I Samuel 17:1-58. Pada suatu kali, tentara Filistin berperang melawan orang-orang Israel. Orang Filistin dipimpin oleh seorang pendekar bernama Goliat, yang tingginya 6 hasta sejengkal. Ia menantang orang Israel, "Mengapa kamu keluar untuk mengatur barisan perangmu? Pilihlah bagimu seorang, dan biarlah ia turun mendapatkan daku. Jika ia berperang melawan aku dan mengalahkan aku, maka kami menjadi hambamu; tetapi jika aku mengalahkannya, maka kamu menjadi hamba kami dan takluk kepada kami." (ayat 8-9). Ia berseru, "Aku menantang hari ini barisan Israel,"(ayat 10). Saul dan orang-orang Israel ketakutan. Pada saat itu, Tuhan mengirimkan pria yang Ia andalkan bernama Daud. Daud melihat Goliat yang sombong dengan kata-katanya sehingga hati Daud panas. Ia berkata, "Siapakah orang Filistin yang tak bersunat ini, sampai ia berani mencemoohkan barisan dari pada Allah yang hidup?" (ayat 27). Daud menghadap Saul dan berkata, "Janganlah seseorang menjadi tawar hati karena dia; hambamu ini akan pergi melawan orang Filistin itu. TUHAN yang telah melepaskan aku dari cakar singa dan dari cakar beruang, Dia juga akan melepaskan aku dari tangan orang Filistin itu." (ayat 37). Daud mengambil tongkat di tangan, memilih lima batu yang licin dari sungai dan ditaruh dalam kantung gembalanya. Daud maju menghajar Goliat, katanya, "Engkau mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama TUHAN semesta alam. Hari ini juga TUHAN menyerahkan engkau ke dalam tanganku dan aku akan memenggal kepalamu dari tubuhmu, supaya seluruh bumi tahu, bahwa Israel mempunyai Allah,”(ayat 45-46). Tuhan mengandalkan Daud, karena Daud berkata, “Sebab di tangan TUHANlah pertempuran." Daud menghajar Goliat dan membunuhnya. Daud memberikan kemuliaan kepada Tuhan dengan mengalahkan Goliat.

HORMATILAH KEKUDUSAN TUHAN


Selama ini kita hanya mengenal Musa sebagai orang yang paling lembut hatinya di bumi. Namun pernahkah Anda bertanya, mengapa Musa tidak masuk ke Tanah Perjanjian yang dijanjikan Tuhan kepada Musa dan segenap orang Israel. Jikalau kita membaca Bilangan 20:1-13, maka kita akan menemukan akar penyebabnya. Daud mengungkapkan akar penyebab dosa tersebut demikian, “Mereka menggusarkan Dia dekat air Meriba, sehingga Musa kena celaka karena mereka; sebab mereka memahitkan hatinya, sehingga ia teledor dengan kata-katanya,”(Mazmur 106:32-33). Jadi, dosa keteledoran Musa sebagai tidak memberi rasa hormat kepada Tuhan. Mengapa Musa teledor? Karena segenap umat Israel menggerutu, "Sekiranya kami mati binasa pada waktu saudara-saudara kami mati binasa di hadapan TUHAN! Mengapa kamu membawa jemaah TUHAN ke padang gurun ini, supaya kami dan ternak kami mati di situ? Mengapa kamu memimpin kami keluar dari Mesir, untuk membawa kami ke tempat celaka ini, yang bukan tempat menabur, tanpa pohon ara, anggur dan delima, bahkan air minum pun tidak ada?" (Bil 20:3-5).
Apa yang dimaksudkan dengan teledor? Marah dan mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas. Musa berkata dengan emosi, "Dengarlah kepadaku, hai orang-orang durhaka, apakah kami harus mengeluarkan air bagimu dari bukit batu ini?"(ayat 10). Kata-kata ketidakpercayaan Musa berbuntut dalam tindakan. Musa mengangkat tangan dan memukul bukit batu dengan tongkat dua kali, sampai keluarlah banyak air. Namun, mukjizat tidak menjadikan Musa seorang yang berkenan kepada Allah. Karena,”TUHAN berfirman kepada Musa dan Harun: Karena kamu tidak percaya kepada-Ku dan tidak menghormati kekudusan-Ku di depan mata orang Israel, maka kamu tidak akan masuk ke negeri yang akan Kuberikan kepada mereka." (ayat 12). Kita melihat bahwa betapa seriusnya Tuhan terhadap apa yang kita sebut sebagai sikap rasa hormat. Jangan pernah memiliki sikap yang tidak memberi rasa hormat kepada Tuhan atau kepada yang lain, karena akan berakibat fatal. Untuk itu, kita perlu mengembangkan sikap saling mendahului dalam memberi hormat kepada yang lain. Kita akan menuai kembali apa yang telah kita taburkan.

Tuesday, December 29, 2009

GOD IS NEAR TO THE BROKENHEARTED







BROKENESS IS THE MEANS THROUGH which God performs some of His deepest work within our hearts. A.W. Tozer once said, "It is doubtful whether God can bless a man greatly until he has hurt him deeply." Likewise Alan Redpath once wrote, "When God wants to do an impossible task, He takes an impossible individual – and crushes him."

This seems to be the divine pattern. "Truly, truly, I say to you, unless a grain of wheat falls into the earth and dies, it remains alone; but if it dies, it bears much fruit" (John 12:24). The hard "outer shell" of the seed must be broken so that the life of the Spirit can come through... Plainly put, God (and only God) can "deconstruct" the self so that life's priorities, focus, and passions are redirected to Him alone, the true Source of life.

The Lord is near to the nishbar lev, the one with a broken heart.  The Hebrew word "lev" (לב) metaphorically refers to our inner life, that is, our affections, mind, and will. This is revealed in the letters of the Hebrew word itself: the Lamed (ל) depicts a "staff" used to direct something (i.e., the will), and the Bet (בּ) depicts the "house" of the physical body.  Lev then represents our inner life of thought and feeling expressed in our actions.  Those who are broken in heart – the nishberei lev – have discovered that they cannot control their own lives, that they are inwardly "shattered," and therefore need divine help. Contrary to conventional wisdom, God helps those who cannot help themselves; He prefers to use broken vessels in His service (Ps. 51:19). As Tozer also wrote, "Beware of any Christian leader who does not walk with a limp."

There is parallelism in this verse.  Both lev (לֵב) and ruach (רוּחַ) denote man's will and thoughts (Josh. 2:11; Deut. 2:30). Both the brokenhearted and the "crushed in spirit" – dakkei ruach – refer to those who need God's deliverance (i.e., יְשׁוּעָה, yeshuah).  The word translated "saves" (yoshia) connotes the idea of "making room" from that which restricts or distresses us. Salvation is freedom from what oppresses and constricts our inward life.  In that sense, God saves us from ourselves – from the chaos of the carnal ego trying to run our own lives.

The LORD is "near" -- karov -- to the brokenhearted. This adjective means close enough to touch. The same root is used for the word korban (קָרְבָּן), an offering that draws us near to God, as well as karov (קָרוֹב), a near kinsman. The Lord is near to the nishbar lev, the one with a broken heart.

The point of our brokenness is to draw us to God for healing: "The LORD heals the broken in heart and binds up their wounds" (Ps. 147:3). Yeshua came to "bind up the brokenhearted (nishberei lev), to proclaim liberty to the captives, and the opening of the prison to those who are bound" (Isa. 61:1). God is merciful and redemptive in His afflictions: "He shall not break even a bruised reed, nor snuff out even a smoldering wick. He shall bring forth the true way" (Isa. 42:3).

Yeshua is the healer of the broken heart and the Savior of those who are crushed in spirit.  Blessed be His Name forever...


HOPE


Ketika kita menempatkan pengharapan dalam posisi seperti ini, maka cara pandang kita terhadap penderitaan dan tekanan yang Tuhan ijinkan akan mulai berubah, bukan lagi sebagai masalah dan hal yang tidak baik melainkan justru menjadi ‘bahan pokok... See More’ yang ketika digabungkan dengan kesetiaan, daya tahan dan karakter akan membentuk dan mem’produksi’ pengharapan kita kepada Tuhan. Ini memampukan kita melihat Tuhan, diri kita serta hal-hal yang terjadi di dalam dan di luar hidup kita dengan cara yang sama sekali berbeda, ‘kaca mata’nya Tuhan. Percaya bahwa segala situasi yang terjadi atas keluarga, pekerjaan, kota dan bahkan bangsa kita tetap ada di dalam kendalinya Tuhan.
Powered By Blogger